08
Des
2020
Korupsi berasal dari frase bahasa latin yaitu corruptio, berakar dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menyogok, menggoyahkan, dan memutar-balik. Secara harfiah kita menganal korupsi sebagai perilaku pejabat publik, baik politikus atau politisi, maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya orang lain, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.
Menurut para ahli, korupsi dikategorikan sebagai sebuah kejahatan sempurna yang dampaknya dapat melanda seluruh lapisan masyarakat. Korupsi kadang juga menjadi sebuah kejahatan massal dan terorganisir. Karena itu, di masa sekarang ini seakan sangat sulit untuk memberantas korupsi. Secara lebih fundamental, korupsi adalah wujud kegagalan rumah dalam melakukan transformasi nilai. Dapat juga dikatakan bahwa korupsi juga pertanda gagalnya orang tua dalam menanamkan nilai-nilai luhur pada anaknya.
Bila kita telaah, korupsi sejatinya muncul akibat need of achievement (motivasi berprestasi) dari manusia yang berlebihan. Keinginan untuk melebihi orang lain menjadikan korupsi dapat bermacam-macam bentuknya. Selain uang dan kekuasaan, bentuk lain bisa berupa korupsi dogma, korupsi hukum, korupsi ayat suci, korupsi dalil, korupsi nilai, korupsi wewenang, dan banyak lagi bentuk korupsi yang tidak kita sadari, dan semuanya dilakukan atas dasar kebutuhan untuk melebihi manusia lain terlalu berlebihan.
Sebaliknya, pribadi sportif yang mau menerima batasan diri bahkan untuk legowo kalah dari orang lain adalah wujud dari need of achievement yang ideal. Anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa diharapkan memiliki pribadi yang ideal tersebut. Harapan kita pada mereka adalah mereka kelak menjalani hidup tanpa budaya korupsi yang selama ini menjadi penyebab terpuruknya negara kita pada berbagai bidang.
Dari sudut pandang ethics, korupsi adalah salah satu dari sekian banyak penyimpangan moralitas. Sedangkan moralitas tidak bisa tidak, hanya bisa ditegakkan dari penanaman dan pemeliharaan sikap dan persepsi sejak masa anak-anak, semenjak awal masa tumbuh manusia, sejak di rumah. Rusaknya lingkungan hidup misalnya, jika ditelusuri lebih lanjut terjadi karena tumbuh suburnya budaya korupsi. Illegal logging, illegal fishing, manipulasi AMDAL, kerusakan SDA sampai bahkan terjadinya pemusnahan spesies sekalipun, karena segelintir orang meloloskan sesuatu yang semestinya tidak layak, sehingga mengacaukan lingkungan hidup ini.
Coba kita tengok pula pada pola pengajaran di taman kanak-kanak, metoda pengajaran yang diberikan adalah mencontoh, menjiplak, dan meniru. Tidak heran bila anak-anak jenjang SD menjadi anak-anak peniru, begitu pun yang terjadi pada jenjang pendidikan selanjutnya. Inilah yang disebut sebagai proses transformasi nilai yang gagal. Proses transformasi yang gagal dari sekedar meniru menjadi kegagalan melakukan analisa, improvisasi, dan sintesa, yang mungkin terbawa seumur hidupnya. Wajar saja bila banyak mahasiswa sekarang dinilai banyak kalangan akademisi kurang kreatif dan bahkan tidak inovatif.
Berikutnya adalah tentang academic atmosphere. Sekolah-sekolah atau kampus-kampus banyak disebut para pakar yang hanya berorientasi terhadap hasil tanpa pernah telaten menjalani proses. Iklim seperti ini akan menumbuh-kembangkan peserta-peserta didik yang bukan hanya tidak beretika, bahkan juga tidak bermoral. Lihat saja maraknya kasus jual-beli soal, jual-beli kursi untuk masuk ke sebuah perguruan tinggi ternama, titip absen, jual-beli kesarjanaan, bahkan sampai plagarisme yang sering kita jumpai di dunia akademis. Menarik yang pernah disampaikan Prof. Mahfud MD, bahwa tidak heran bila umunya para koruptor itu justru bertitel sarjana. Inilah buah dari moralitas yang berorientasi pada hasil, tanpa pernah menghormati proses.
Rumah yang dalam istilah barat disebut “home”, bukan “house”, untuk membedakan antara yang materi dan yang imateri. Penggunaan kata home ini dinisbatkan pada semacam tempat kembali, tempat belajar, pintu kasih sayang, dan jendela perhatian, ketimbang house yang sekedar menyebut harkat kebendaan. Rumah adalah institusi awal tempat dimana pribadi-pribadi tumbuh dan bersosialisasi sejak dini.
Di rumah inilah seharusnya anak-anak dididik dengan jelas dan pasti bahwa tiada kemudahan tanpa usaha dan tiada kekayaan tanpa proses panjang mendapatkannya. Sering kali hanya memberi mereka kemudahan-kemudahan baik itu uang jajan maupun fasilitas tanpa pernah menjelaskan dari mana uang itu berasal, dengan cara apa mendapatkannya. Tentu menjadi suatu hal yang sangat ironis bila uang tersebut juga diperoleh justru dengan cara-cara tidak pantas.
Ini adalah pelajaran dasar pentingnya pemerhatian terhadap aspek imateri dibandingkan aspek materi. Namun sekarang justru lebih kita jumpai orang tua yang hanya memotivasi anaknya agar kaya dan memiliki harta berlimpah, dibanding memotivasi secara kuat agar anaknya kelak lebih berilmu. Hal ini dipercaya atau tidak telah banyak berimbas pada scoup yang lebih besar.
Perhatikan dalam konteks Indonesia, aktivitas politik dan bisnis adalah dua sektor yang paling banyak menuntut alokasi anggaran berlebih, bukan pada sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial. Pada persenyawaan politik dan bisnis itulah kesempatan korupsi sangat luas terbuka. Busines is politic building, and politic is business defend!. Itu adagium yang sangat terkenal dalam dunia politik praktis.
Sulitnya mendapatkan anggaran untuk pendidikan, riset, kesehatan, sosial dan kesejahtraan masyarakat, seakan berbanding terbalik dengan alokasi yang super luas untuk kegiatan pilkada, studi banding anggota dewan, kenaikan gaji wakil-wakil rakyat, dan pengadaan pada proyek-proyek yang sangat rentan di korupsi. Semoga kekhawatiran khalayak bahwa penyelenggara-penyelenggara negara ini sudah tidak lagi berikhtiar dengan sungguh-sungguh pada nation and character building bangsa, melainkan lebih memperjuangkan kepentingan pribadi atau golongan tidak menjadi hal yang terbukti benar, walaupun hal tersebut sangat dimungkinkan karena mereka lahir dari sistem pendidikan “jalan pintas“ yang hanya berorientasi pada hasil tanpa pernah menghormati proses.
Setidaknya terdapat 5 (lima) hal penting yang perlu mendapat perhatian dalam upaya mengembalikan Rumah sebagai komisi/institusi dasar anti korupsi. Pertama, harus adanya law of inforcement di rumah dan atau di institusi pendidikan lain yang menjamin bahwa yang salah adalah salah dan yang betul adalah betul. Prinsip deontologi dasar harus mulai ditanamkan sedari awal, bahwa mengambil hak orang lain, apapun itu alasannya, apapun tujuannya adalah perbuatan tercela dan pelakunya harus diberi sanksi.
Kedua, melakukan modifikasi-modifikasi perilaku pada anak yang memiliki need of achievement yang sangat tinggi. Rumah adalah institusi pemberdayaan, sehingga bagi anak yang tidak mampu mencapai keinginannya, dorong ia menginginkan pada yang mampu dia capai. Senyampang dengan hal ini, sedari dini anak harus diperkenalkan dengan sistem kerjasama, tepa selira, welas asih dan saling membantu untuk mewujudkan suatu keinginan.
Ketiga, lingkungan akan selalu memberi pengaruh besar pada jiwa anak dimasa pertumbuhan, oleh karenanya, rumah sebaiknya tidak memberikan tekanan-tekanan berlebih kepada anak untuk mendapatkan prestasi di luar kapasitasnya. Need of achievement baru ditanamkan pada saat anak beranjak dewasa. Mengganti tuntuan dengan tawaran adalah solusi untuk menjaga mentalitas anak.
Keempat, pemahaman yang baik bagi orang tua terhadap tentang korupsi dan segala bentuk turunannya adalah contoh terbaik bagi anak. Dalam buku “Law of Attraction”, dikatakan, apabila kita membenci dengan perilaku generasi sekarang, berpihaklah pada generasi mendatang. Karena itu, anak-anak kita harus mendapat pembekalan yang tidak hanya dalam, namun juga memadai tentang korupsi dan seluk beluknya. Dengan mengenal bentuk kejahatan tersebut, diharapkan anak-anak kita akan memiliki karakter yang kuat untuk tidak melakukan korupsi di masa mendatang.
Kelima, serajuk dengan poin keempat, sisi lain yang juga perlu diperhatikan oleh orang tua adalah keteladanan. Kecenderungan anak meniru perilaku dari orang yang lebih tua menuntut keteladanan dari orang tua, yang tidak bisa tidak dimulai dari rumah. Keteladanan memainkan peranan penting dalam mengarahkan perilaku anak. Keteladanan dari orang tua adalah contoh tertinggi dalam pandangan anak yang sedang tumbuh. Untuk itu, orang tua perlu memberi contoh perilaku anti korupsi agar anak melihat secara nyata perilaku anti korupsi itu dari orang tua.
Keberhasilan transformasi nilai mulai dari rumah akan membentuk sikap anti korupsi yang akan tertanam kuat di jiwa dan pikiran anak-anak sejak usia dini sehingga tercermin dari sikap dan tingkah laku keseharian, yang akan menjadi bekal penting saat anak-anak ini kelak menjadi pemimpin. Meski pun time respon-nya relatif lama, namun sebagai pijakan dan pondasi, pendidikan anti korupsi harus dilakukan sedari dini, bahkan pendidikan anti korupsi ini penting untuk dimasukkan dalam kurikulum sekolah mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Setiap tingkatan tentu diberikan modul yang berbeda-beda disesuaikan usia dan daya tangkap.
Selamat memperingati Hari Anti Korupsi Sedunia (HAKORDIA), semoga kita semua terhindar dari perilaku korupsi disegala aspek, baik yang kita ketahui dan tidak kita ketahui dan disengaja. Semoga anak-anak kita tidak hanya menjadi generasi penerus, namun juga menjadi generasi menjadi pelurus bangsa. Ya Tuhan kami, cukupkan kami hingga kami tidak perlu korupsi. Aamiin yaa rabbal 'alamiin.
Sumber cover : kpk.go.id