Vecteezy

27

Agu

2024

MENJADI PERUSAHAAN SEDERHANA

Kabarnya orang Indonesia itu cenderung suka dengan "power distance relationship" yang merupakan bibit birokrasi dan anti simplifikasi. Padahal "power distance relationship", selain akan melahirkan kultur birokrasi, membuat prosedur jadi semacam dogma yang tak boleh dimodifikasi.

Banyak hal yang ada disekitar kita terlihat begitu kompleks, apakah itu proses bekerja, masalah, proses, prosedur, atau mungkin juga karena cara berpikir kita kompleks, dan tanpa disengaja membuat sesuatu menjadi lama. Namun, kata beberapa ahli, kompleksitas pikiran dan proses itu sering terjadi sebagai akibat karena kita tidak mampu memetakan isu pilihan-pilihan.

Tentu kita harus mampu menyederhanakan, tapi karena tidak semua proses dapat disederhanakan, maka proses penyederhanaan ibarat mendalangi berbagai proses tidak hanya secara efektif, namun juga efisien.

Pada era globalisasi yang VUCA (volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) ini, menjadi sederhana adalah salah satu jurus sakti agar perusahaan menjadi pemenang dalam kompetisi. Ketika sebuah perusahaan baru memulai bisnisnya, semuanya bisa dilakukan dengan cepat dan simple, namun ketika perusahaan mulai tumbuh berkembang, perusahaan perlu menerapkan kontrol, mengelola risiko, menambah karyawan, dan seterusnya. Proses yang semula sederhana perlahan-lahan menjadi komplek.

Nah, kadang kompleksitas ini jadi membuat perusahaan besar kadang kalah dengan pedagang-pedagang kelontong di Pasar Senen. Di sana, apa aja yang diminta konsumen bisa disediakan dengan cepat. Istilah gaulnya “palu gada” Apa yang elu mau, gua ada!. Manajemen yang hebat. Tapi ya itu, ketika perusahaan tumbuh, ia membangun proses, mengontrol sesuatu, yang kadang juga bisa over kontrol.

Seringkali sebuah perusahaan membuat proses yang tak perlu, karena takut ada yang tidak terkontrol, dengan kata lain takut risikonya tidak terkelola. Padahal, risiko akan selalu ada, tidak bisa dihilangkan, paling banter hanya diminimalkan, dan dikelola dampaknya. Tapi saya percaya satu hal, bahwa risiko terbesar adalah tidak mengambil risiko.

Sebenarnya misi sebuah perusahaan adalah, bagaimana ia bisa terus tumbuh, semakin besar, dan besar lagi, tapi tetap bisa bergerak gesit seperti pedagang di Pasar Senen tadi. Ketika sebuah perusahaan semakin mengglobal, kecepatan adalah sebuah tuntutan. Problemnya, "kecepatan", memang bukan kata yang populer dalam sejarah dan kultur bangsa kita. Kita lebih manut pada kultur "alon-alon asal kelakon". Kita tak terlatih bergerak dan menghasilkan sesuatu lebih cepat, ungkapan "Belanda masih jauh", sering jadi kredo untuk tidak perlu cepat. Kita jadi generasi yang suka untuk menunda-nunda, nggak bikin kita kompetitif.

Kata "sederhana" dalam perusahaan adalah tentang merubah mindset untuk membuat perusahaan lebih cepat, produknya lebih murah, dan terbaik. Menyederhanakan perusahaan tidak hanya soal memperbaiki pabrik dan proses produksi atau memotong biaya operasional, penyesuaian kesejahteraan karyawan, atau mengurangi jumlah karyawan. Seringkali untuk meningkatkan kinerja perusahaan, yang diperbaiki hanya prosesnya saja, bukan cara pikir karyawannya. Suatu perusahaan harus memperbanyak karyawan yang termotivasi untuk menyederhanakan banyak hal, dan menghindari birokrasi.

Prinsipnya, sederhana dalam proses harusnya menjadi sebuah budaya dalam sebuah perusahaan, bukan proyek an sich. Kita memang perlu merubah cara berfikir kita dengan mulai berani untuk menghadapi realitas dan mengambil keputusan. Cara berpikir bisa dilatih agar kita bisa membuat peta masalah dan memunculkan pilihan-pilihannya. Poinnya adalah ada bagaimana membuat pilihan-pilihan yang ada menjadi lebih sederhana. Kita nggak mungkin bisa menyenangkan semua orang, ada pilihan-pilihan yang harus dibuat, kita perlu untuk fokus dan membuat skala prioritas.

Sederhana dalam proses adalah juga tentang kemampuan mapping masalah, meringkas proses, dan mengambil pilhan-pilihan, lalu berani menjalankannya. Hal ini berkelindan dengan kegiatan inovasi, mungkin menghasilkan proses baru atau memperbaiki yang ada agar lebih efisien.

Mengubah sistem birokrasi dan kelambanan, jauh lebih berat daripada membuatnya. Oleh karenanya selain konsep, kita perlu manajemen yang revolusioner. Peranan Manajemen sangat penting untuk menuju proses yang sederhana. Proses dan prosedur tetap tak akan berubah tanpa ada tim manajemen yang secara rutin mempertanyakan proses-proses yang selama ini sudah dilakukannya..

Pepatah Barat bilang, "A good leader challenge status quo". Saya setuju. Tapi, Manajemen yang bagus saja tak cukup mampu untuk mengubah sistem birokrasi, dibutuhkan juga pengikut yang baik. Kalau Manajemennya berjuang jungkir balik, tapi karyawannya takut untuk melakukan perubahan, revolusi tadi nggak akan jalan.

Agar kita bisa lebih maju, sudah betul kalau leadernya terus melakukan perbandingan dengan global competition. Bandingkan dan bandingkan, increase the bar, improve terus dan terus. Sederhana dan sederhana tapi juga nggak over simplifikasi.

Saya termasuk yang percaya bahwa menjadi sederhana antara lain dimulai dari memunculkan kepekaan, melakukan pemetaan, penilaian risiko, dan keberanian untuk melaksanakan program aksi (terkadang bahkan aksi yang revolusioner). Kita ingin kegiatan menyederhanakan proses adalah suatu kultur, inovasi, dan kreatifitas untuk membuat perusahaan (dan juga diri) jadi lebih kompetitif. Kerenanya, menjadi sederhana adalah jawaban agar kita jadi lebih kompetitif di dunia global. (mi)

Sumber gambar : Vecteesy

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk Indonesia dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: