31
Des
2015
Relasi dengan para investor, mitra bisnis, tim kerja ataupun karyawan adalah salah satu poin penting dalam mendukung kesuksesan kita. Membangun relasi berarti membangun kepercayaan orang lain kepada kita. Tak banyak orang yang menganggap bahwa membangun rasa saling percaya adalah hal penting. Karenanya, proses membangun relasi bisnis ini bisa jadi bukan hal yang mudah untuk sebagian orang. Relasi bisnis pada dasarnya lebih luas dari sekedar membangun hubungan yang semata-mata demi menghasilkan profit.
Pada Prinsipnya, hubungan harmonis dalam masyarakat adalah sumber kejayaan usaha. Sebaliknya, perpecahan adalah awal kehancuran usaha. Laiknya seluruh agama mengajarkan berbagai kiat merajut persatuan. Kiat menyuburkan kasih sayang antara masyarakat adalah saling memberi hadiah, bahkan seluruh ajaran agama menghimbau pemeluknya untuk saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan kebencian yang ada dalam dada. Dengan ajaran ini, fungsi hadiah bertujuan mempererat hubungan kasih sayang dan mengikis segala bentuk jurang pemisah antara pemberi dan penerima hadiah.
Konsep memberi hadiah benar-benar berlatar belakang sosial, tanpa embel-embel komersial. Penjelasan tersebut mendorong kita untuk mengoreksi berbagai hadiah, yang kita berikan dan hadiah yang kita terima. Rasa sungkan, keinginan membangun relasi bisnis, dan mungkin diantaranya pengaruh pamrih lain, lebih melandasi seseorang memberi hadiah. Mungkin inilah mengapa hadiah tidak pernah singgah ke rumah orang tak berpangkat.
Ketentuan pemberian hadiah secara moral etik-keagamaan tentu lebih luas daripada ketentuan dalam Pasal 5 UU No. 20/2001 tentang Perubahan atas UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam UU tersebut, hadiah hanya dianggap gratifikasi bila dengan maksud pegawai terkait melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya, atau hadiah tersebut diberikan terkait dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban. UU ini ingin mengatakan bahwa pejabat tidak boleh menerima dan memberi hadiah sebab ia memiliki kedudukan tertentu. Hal ini dipandang bagus namun kering dari aspek sosial. Senyampang dari itu, dalam UU tersebut, suatu hadiah dianggap gratifikasi bila disertai dengan maksud buruk, yaitu agar penerimanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya.
Kita pasti menyadari bahwa niat dan tujuan adalah sesuatu yang tidak kasat mata, karena tersimpan dalam hati, sehingga sulit dibuktikan. Sebagaimana batasan “bertentangan dengan kewajiban”, mengingat hal itu berbeda-beda, selaras dengan perbedaan pemahaman masing-masing orang.
Secara etis, menawarkan dan menerima hadiah bisnis akan memperkuat hubungan bisnis dan dapat membantu produk kita di pasar global. Bila dilakukan dalam batas-batas yang ditetapkan, kegiatan ini menjadi praktek bisnis yang sesuai hukum dan pantas. Ketika berhadapan dengan pelanggan, mitra, relasi dan/atau pejabat pemerintah, seorang karyawan harus memastikan bahwa mereka menawarkan, memberikan, dan menerima hadiah, menyediakan makanan atau hiburan, dan membayar biaya perjalanan hanya jika bernilai wajar, tidak diberikan dengan niat buruk untuk memengaruhi secara tidak pantas tindakan atau keputusan penerima.
Namun, perilaku etis bisa dipahami berbeda antara suatu bangsa dengan bangsa lain. Pemberian hadiah oleh pengusaha kepada pejabat pemerintah dianggap biasa dan bukan merupakan tindakan illegal di beberapa negara. Negara-negara di Amerika Latin dan Timur Tengah misalnya, dalam relasi bisnis mereka berusaha lebih mengakrabkan diri dengan Anda. Karena orang Amerika Latin dan Timur Tengah sangat mudah akrab dengan siapa pun. Karena mereka akan cenderung memandang Anda sebagai individu dibandingkan sebagai wakil sebuah perusahaan. Menerima atau memberikan hadiah termasuk hal lumrah di negara-negara tersebut. Hal yang berbeda ditunjukkan oleh negara seperti Amerika, Australia, dan sebagaian negara-negara eropa tengah yang menganggap pemberian hadiah bisnis tidak dibenarkan.
Dalam bisnis, pemberian hadiah umumnya banyak memanfaatkan momen-momen ataupun peristawa-peristiwa yang cukup baik, seperti : Pada hari-hari besar keagamaan (hadiah hari raya tertentu), hadiah perkawinan, hari ulang tahun, keuntungan bisnis, dan lain sebagainya. Hanya karena pemberian hadiah ini kebetulan bersenyawa dengan suatu proses bisnis, maka makna “keikhlasan”, “tanpa pamrih”, “niat baik”, “rasa simpatik”, dll, seakan-akan menjadi hal yang tidak lagi boleh dikemukakan. Idiom “tidak ada hadiah dalam bisnis”, seolah menjadi penegas bahwa bisnis kering dari nilai-nilai sosial. Hadiah dalam bisnis cenderung serta merta dikatagorikan gratifikasi dan menjungkalkan hakekat bahwa memberi hadiah adalah manifestasi dari tradisi melestarikan hubungan harmonis dalam masyarakat sebagai sebuah kearifan lokal.
Pada akhirnya, kiranya kita perlu melihat lebih jernih dan hati-hati dalam memaknai hadiah diantara ancaman gratifikasi dan upaya sadar membangun relasi, mana hadiah mana gratifikasi. Karena soal memberi dan menerima adalah perkara siklus hidup, boleh kiranya saya mengajak pembaca untuk percaya soal ini, “the more you give, the more you have”.
Sumber foto : Plush Design