04
Agu
2020
"Salah satu kebiasaan umum untuk dianggap menjadi orang yang benar adalah menyela", itu kata Julian Treasure pakar komunikasi asal Inggris, penulis buku best seller dunia “How to be Heard”. Padahal tidak sama sekali. Percayalah kendatipun kita pikir bahwa kita memotong pembicaraan untuk alasan yang baik - untuk mengajukan pertanyaan yang relevan, menawarkan solusi untuk suatu masalah, atau menunjukkan bahwa kita mengerti - itu tidak sopan dan hampir selalu berdampak negatif terhadap interaksi. Memotong pembicaraan orang laksana memberi tahu lawan bicara bahwa sesungguhnya kita tidak peduli dengan apa yang mereka katakan.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa memotong pembicaraan itu melulu buruk dan salah. Terkadang kita memang harus menyela. Kita mungkin terlalu bersemangat; mungkin mereka salah paham; mungkin ada tekanan waktu; beberapa orang kadang bertele-tele. Tapi jika diterus-terusno, hal tersebut akan mengurangi kekuatan dan efektivitas komunikasi kita.
Sering memotong pembicaraan orang sejatinya memiliki banyak konsekuensi logis. Pertama, kita gagal mendengar secara utuh apa yang akan dikatakan orang lain, yang barangkali penting, mendesak, dan bermanfaat atau bahkan ternyata dapat memberi pencerahan pada kita. Kedua, saat kita gemar memotong pembicaraan, reputasi kita akan anjlok di mata lawan bicara dan akan mengurangi respek orang lain terhadap kita. Ketiga, tanpa kita sadari, orang yang senang berbicara lama-lama akan sulit mengendalikan diri. Kata-kata ibarat meluncur seperti air mengalir, menghujam seperti tumpahnya anak-anak panah dari busurnya, tidak lagi tahu mana kata-kata yang baik dan mana yang tidak baik, jadi banyak guyon dan lupa tidak menaruh hornat pada lawan bicara. Keempat, memotong pembicaraan kemungkinan besar akan merusak pembicaraan dengan mengubah dinamika — tidak lagi sama, karena kita berubah menjadi pengganggu yang mendominasi.
Ya, mengganggu! Bayangkan. Kita bertanya, yang ditanya masih menjawab, belum selesai langsung dipotong pembicaraannya, kadang langsung di-cut di tengah jalan, kemudian kita menyimpul-nyimpulkan sendiri, ketika dijelaskan keukeuh dengan kesimpulan kita sendiri. Peserta diskusi itu mau tahu pendapat narasumber, bukan cecaran pertanyaan tanpa jawaban yang lengkap karena dipotong-potong sekehendak hati kita.
Menurut saya, percakapan itu harus memafhumi semua orang dalam suatu kelompok, tetapi kita mungkin sering menjumpai beberapa orang yang tidak memberi orang lain kesempatan untuk berbicara. Tahun lalu saya terpilih menjadi best presenter dalam suatu ajang kompetisi prestisius tingkat nasional, senyampang bukan karena saya jago berbicara terus menerus, tapi lebih karena saya berlatih untuk lihai dalam mendengar. Menjadi pembicara yang baik melibatkan partisipasi aktif dan tahu persis kapan harus menyela. Ketika tiba waktunya untuk mendengarkan, berhentilah berbicara. Bila perlu berbicara, tariklah nafas sejenak sebelum berbicara. Ini efektif, ketika kita sedang menarik nafas, mungkin kita tergemap bahwa lawan bicara kita ternyata masih berbicara. Lantas carilah peluang dengan cerdas untuk menyela dengan pertanyaan atau pernyataan singkat.
Dalam negosiasi bisnis, berbicara di meeting, dan presentasi ke client, biasanya pihak yang terlalu banyak berbicara adalah pihak yang kalah. Kita harus belajar menyadari bahwa yang harus dilakukan adalah separuh bicara separuh lagi mendengar. Sendi umum kenapa kita harus banyak berbicara adalah karena bicara jelas jauh lebih mudah dari pada mendengarkan, sehingga membuat kita berpikir semua hal dihadapan kita telah berada di bawah kendali kita. Itu justru blunder. Sebaliknya, saat kita betah mendengarkan orang lain, hal tersebut akan memperkaya diri kita. Keterampilan mendasar yang sangat penting dalam aspek kehidupan dan karir maupun bisnis, yaitu “mendengarkan”, itu bukan termin saya, tapi Jeffrey Preston Bezos, CEO Amazon.
Kata orang bijak, Tuhan memberi satu mulut dan dua telinga supaya manusia lebih banyak mendengar daripada berbicara. Menjadi pendengar yang baik memang banyak berguna dalam kehidupan sosial. Saat jadi pendengar, kita bisa melatih kesabaran, tidak mementingkan diri sendiri, hingga menghargai perbedaan pendapat. Ini benar, untuk menjadi pembicara yang baik, biasanya kita lebih dahulu harus menjadi pendengar yang baik.
Memotong pembicaraan boleh saja, tapi lakukan itu dengan berkelas dan etis. Tunggu hingga jeda alami dalam percakapan. Biarkan lawan bicara kita menyelesaikan apa yang mereka katakan, dan selepas itu ajukan pertanyaan dan tawarkan pemikiran kita.
Kita boleh memotong pembicaraan ketika kita merasa bahwa informasi yang disampaikan kurang sesuai dengan topik pembicaraan. Namun begitupun, lakukan dengan fatsoen (tata krama). Terlebih jika kita sedang berbicara dengan orang yang lebih tua, manggala, atau bahkan anak kita. Memotong pembicaraan bukan hal yang tabu, syaratnya, lakukan dengan jeli, santun, dan penuh perhitungan.
Terhadap atasan atau senior, sebelum memotong pembicaraan biasanya saya meminta persetujuan sebelum melakukannya. "Mohon izin berpendapat, pak” atau "Izin, saya punya beberapa pemikiran jika Bapak/Ibu berkenan untuk mendengarkannya", dan gaya lainnya. Mengapa ini penting, karena saya ingin memastikan bahwa interaksi yang terjadi tetap menjadi percakapan yang positif tidak hanya untuk saya saja, tapi juga untuk lawan bicara dan pendengar, dan mencegah untuk tidak berpindah menjadi pengganggu bagai orang lain seperti yang sudah diulas di atas.
Sebelum berbicara biasanya saya mempertimbangkan hingga lima hal. Pertama, untuk apa kita berbicara. Kedua, saya biasanya memperhatikan dengan siapa saya berbicara. Ketiga, tentang apa pembicaraan saya. Keempat, dimana saya berbicara, dan kelima, kapan saya bisa berbicara.
Semenjak kecil saya diajari orang tua ilmu takaran, yaitu segala sesuatu itu harus ada takarannya. Misal, saat ini waktunya tampil, waktunya bicara. Atau, sekarang ini waktunya diam, jangan bicara dulu, tapi tunggu dulu sampai matang, entah besok atau lusa. Saya beruntung memiliki ilmu itu karena membantu saya untuk tidak reaktif.
Jika pun terpaksa harus memotong, usahakan jangan serta merta dan asal potong. Cermati momentumnya, misal saat lawan bicara kita sedang jeda, atau mengambil napas, dll. Adab itu bukan hanya soal memilih diksi tapi juga tidak menggunakan nada bicara yang tinggi bagi orang kebanyakan. Penting juga untuk memeriksa apakah yang akan kita bicarakan adalah dalam upaya untuk saling mengisi, bukan saling memotong untuk menghindari kesan memaksakan kehendak. Kita mungkin sering luput soal ini, jangan lupa pertimbangkan juga apakah tindakan kita dengan memotong pembicaraan tersebut akan merusak suasana atau tidak. Kalau tidak terlalu perlu, sebaiknya ya tidak usah dilakukan.
Apakah kita sudah menjadi pendengar yang baik? Menjadi pendengar yang baik itu keterampilan berkomunikasi yang dapat kita bangun lho. Menjadi pendengar secara aktif adalah teknik yang sering diajarkan oleh pakar komunikasi untuk dapat membantu hidup kita, mulai dari bekerja hingga sekolah hingga hubungan pribadi kita. Pendengar yang baik akan melatih diri berkonsentrasi penuh pada apa yang dikatakan, memahaminya, menanggapinya jika benar-benar perlu, dan kemudian mengingatnya untuk keperluan masa mendatang. Menjadi pendengar yang baik setidaknya akan memmandu kita untuk dapat menyimpan dan mengingat informasi dan membantu kita membangun hubungan yang baik dengan orang yang kita dengarkan.
Kita dianggap pintar bukan karena kita lihai menyela, bukan pula karena kita sukses mendominasi pembicaraan. Sebaliknya, para ahli menunjukkan bahwa ketika kita cenderung senang mendominasi pembicaraan, kita justru sulit menjadi seorang pemimpin. Karena seorang pemimpin yang baik adalah pribadi yang suka mendengar. Pribadi yang mau mendengarkan keluh kesahnya orang lain. Para pemimpin selalu punya karakter yang sama, ia akan dengan sukarela dan ikhlas mendengarkan lawan bicaranya dengan saksama. Ia akan menunjukkan ekspresi sesuai dengan apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Ia adalah orang yang memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi. Pemimpin itu mendengar.
Menyesuaikan sikap dan cara kita berpikir adalah jalan tercepat menjadi pendengar yang baik. Penting juga memperhatikan setiap kata dengan seksama dan jangan buru-buru memberikan nasehat, mengambil kesimpulan atau memotong pembicaraan orang lain. Belajar untuk menghargai dan memberi kesempatan orang lain untuk mengemukakan pendapatnya adalah kesabaran paripurna. Tidak banyak orang yang bisa begitu. Mengendalikan ego dan bertindak secara tepat dalam berbicara dengan orang lain akan mengantarkan kita mendapatkan hasil terbaik. “Make yourself win”, kata orang. Saya termasuk yang percaya bahwa menjadi pendengar yang baik adalah penyebab tumbuhnya kepercayaan pada kita. Orang akan cenderung percaya pada orang yang mampu mengendalikan diri ketimbang yang tidak.
Jadi, apakah kita masih ingat, kapan terakhir kita betah mendengarkan seseorang sampai ia selesai berbicara? (mi)
Sumber foto cover : Adam Solomon