Corona

27

Apr

2020

NGGAK MUDIK, YA NGGAK APA-APA

Tetap nekat pulang kampung, dan yakin justru tidak mengantar COVID-19 ke orang-orang tercinta di kampung halaman?

Mudik Lebaran adalah tradisi masyarakat indonesia yang sudah berlangsung turun temurun. Menjelang akhir Ramadhan setiap tahunnya jutaan orang perantauan bergerak pulang ke kampung halaman untuk mudik merayakan lebaran bersama keluarga.

Asal muasal kata mudik ini sebenarnya tidak ada kaitannya dengan Lebaran. Mudik merupakan singkatan "Muleh Dilik" dalam bahasa Jawa yang artinya pulang sebentar. Mudik sendiri berarti kegiatan perantau atau pekerja migran kembali ke kampung halaman, namun yang diartikan kembali ke kampung halaman ini dilakukan hanya sebentar saja. Seberapa jauh pun kita merantau, pergi dari kampung halaman, baik itu untuk sekolah, mengejar mimpi, atau untukbbekerja mencari nafkah, mudik selalu menjadi hal yang ditunggu-tunggu. Begitu pula dalam hidup ini. Sejauh apapun kita melangkah, dan selama apapun hidup, akan ada masa dimana kita akan pulang. Pulang ke tempat asal kita, kembali kepada Tuhan, Sang Maha Pencipta. Kira-kira begitulah makna mudik bagi kita kebanyakan.

Namun situasi sekarang tentu berbeda, Lebaran nanti mungkin adalah lebaran yang tidak pernah dialami oleh pendahulu kita, pandemi COVID-19 ini memang merubah semua kabiasaan kita termasuk diantaranya yang terkait mudik

Seperti yang kita tahu bersama COVID-19 adalah virus yang dapat ditularkan melalui perantara orang ke orang, hal ini mengundang kekhawatiran orang yang mudik atau mereka yang keluar dari daerah endemik (redzone) lalu masuk ke daerah dengan tingkat endemik yang lebih rendah justru akan memacu penyebaran virus tersebut. Bisa jadi, justru pemudik itu ternyata menjadi kurir yang mengantarkan COVID-19 tanpa gejala atau dengan gejala ringan karena berasal dari daerah yang terjangkit COVID-19.

"Lalu?"

Mari mencoba untuk tidak mudik terlebih dahulu tahun ini. Kita tetap berada di rumah seperti yang sudah kita lakukan sejauh ini. Yakinlah shalat tarawih di kampung halaman pun tidak dilakukan berduyun-duyun demikian juga dengan shalat ied yang jelas tidak akan digelar bareng-bareng di lapangan.

"Kalau urusan kangen, bagaimana?"

Nah ini, untuk mengatasi rasa kangen terhadap keluarga tercinta pada saat lebaran tiba, bisa kita salurkan melalui aplikasi-aplikasi teleconference atau menggunakan video call. Yakinlah juga bahwa bukber yang biasa kita lakukan dengan teman-teman masa SD, SMP, SMA dan kuliah tidak bisa lagi diselenggarakan sementara ini. Saling berbagi foto, chatting, dan bertelefon bisa menjadi salah satu solusi untuk menawarkan rasa kangen pada kampung halaman.Tentu saja beda, iya memang.Bagi yang isterinya senang masak, bisa juga memasak makanan kesukaan keluarga atau orang-orang tercinta di hari lebaran. Bisa mempraktekkan aneka menu kue dan hidangan Lebaran. Walaupun tentu tidak ramai seperti biasanya, namun niatkan saja ini juga untuk kebersamaan. Sedari kecil kita diajarkan Lebaran bukanlah soal meriah atau tidaknya kita merayakannya. Badan boleh tidak hadir, baju boleh tidak baru, kue lebaran boleh tidak bervariasi, bahkan angpao pun boleh tidak ada. Namun pintu maaf tidak boleh kita tutup, ia harus selalu dibuka. Saling memberi maaf memaafkan, adalah sejatinya idul fitri.Bagi saya, nggak mudik pun nggak apa-apa. tidak jadi masalah, karena saat ini kesehatan lebih penting dari segalanya. Daripada mudik tapi menimbulkan banyak mudaratnya, lebih baik tetap di rumah saja. Tidak usah sedih dan gundah gulana sekiranya tidak mudik, kita nggak sendirian kok, masih ada jutaan orang lain di Indonesia yang tahun ini juga nggak mudik dengan alasan justru karena ingin melindungi keluarga mereka di kampung halaman. Menjalani lebaran di rumah saja, bercocok tanam, olahraga, main game bersama keluarga kecil sepertinya juga nggak kalah asyik.

Saya sih nggak bisa membayangkan mereka yang nekat mudik. Perjalanan untuk mudik sama sekali nggak aman karena sangat mungkin akan terjadi kontak dekat dengan orang yang membawa penyebab COVID-19 yang tanpa gejala atau dengan gejala ringan. Sangat mungkin kita bertemu dan terpaksa kontak dekat dengan orang tanpa gejala atau orang dengan gejala ringan di kendaraan, di terminal, di bandara, di pelabuhan, di stasiun, di rest area, atau di toilet umum sepanjang perjalanan.Kalau pakai moda transportasi umum, begitu datang jegreg, pasti langsung diminta karantina 14 hari. Apalah arti mudik bila harus dikarantina selama 14 hari di kampung halaman, bisa-bisa lebaran lewat, dan waktu cuti pun harus tambah. Lalu bila sembunyi-sembunyi menggunakan transportasi pribadi, setiap daerah yang kita lalui kan diberlakukan penjagaan yang sangat ketat, terus disterilisasi dengan disinfektan, ribet bukan? yang tadinya niat senang-senang, dijamin langsung bete. hehe.So, sekali lagi nggak usahlah mudik dahulu. Walau di tanah rantau, mari jalani Lebaran di rumah. Sedih iya, tapi jangan nggak happy. Kesehatan harus menjadi perhatian utama kita saat ini. Bukan buat diri sendiri, tapi juga keluarga, sanak saudara, handaitaulan, di kampung halaman kita.

Semangat tidak mudik!, #stayathome, #stayhealthy, dan #staysave, gaes!

Sumber foto cover : Suara.co

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk domestik dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: