05
Feb
2021
Kini, di usianya yang ke-74 tahun (1947-2021) yang nampak di permukaan dan sangat menonjol justru pragmatisme, menurunnya kadar intelektual kader, komitmen keumatan yang hanya slogan, sampai goyangnya independensi di level grass root. Oleh karenanya tidak heran jika muncul pertanyaan reflektif, ada apa dengan aktivis HMI?, Quo vadis HMI?
Dinamika suksesi kepengurusan di HMI baik itu Komisariat, Korkom, Cabang, Badko, sampai PB HMI tentunya harus menjadi ajang untuk saling berupaya menjadikan wadah tersebut berkualitas. Akan tetapi kenyataannya, seusai ”pertarungan” tersebut kerap muncul tidak adanya sikap saling rangkul, masing-masing malah mengidentifikasi diri dalam sebutan ”gerbong-gerbong”. Selain itu, dalam praktek penentuan personalia tidak dapat dimungkiri mungkin telah terjadi praktik yang tidak sehat. Lihat saja personalia pengurus HMI di Cabang, Badko, bahkan di PB, banyak yang tidak sesuai persyaratan AD/ART organisasi. Tentunya hal ini harus dihilangkan, jangan lagi ada seseorang menduduki posisi (jabatan) hanya karena pertimbangan politis dukung-mendukung tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas. Pola semacam ini disinyalir marak dalam tubuh PB HMI. Apalagi saat seperti Kongres sinyalemen adanya money politic kian kentara begitu pun pada Musda dan Konfercab ada pula yang menjalan praktik ini. Sungguh ironis!.
Sejak kelahirannnya pada 5 Februari 1947, gagasan-gagasan monumental HMI kerap kali melampaui pikiran zamannya, ide-ide HMI selalu futuristik dan memberikan pilihan alternatif solusi. Karena pola pikir yang konstruktif inilah sehingga kerap kali HMI dan kader-kadernya mengambil tempat yang strategis dalam kelompok-kelompok pembaharuan.
Namun sayangnya prototipe HMI semacam itu tergerus ke dasar parit pragmatisme oleh sekelompok orang atau individu yang menganut paham “transaksional” (baca : jual-beli) dalam memuluskan pertarungan politiknya. Istilah transaksional ini mengarah pada fenomena jalan instan menuju kursi Ketua Umum PB HMI dengan mengunakan kekuatan kapital. Pola ini memang bergulir seiring berkembangnya budaya pragmatisme dan instant thinking. Bagi beberapa kalangan atau kader HMI yang tidak menganggap penting sebuah proses dan kapasitas, memang cenderung memilih jalan pintas mencapai puncak kepemimpinan HMI dengan mengandalkan dukungan kaptasl an sich.
Kalau sudah begitu, jaringan yang dibangun adalah jaringan yang membuka akses pada pemegang kapital dan pemangku kepentingan politik. Selain itu, tidak jarang potensi HMI “di-settting” sedemikian rupa untuk memuluskan kepentingan senior-seniornya. “Persenyawaan” ini biasanya sengaja dipertahankan, karena pada gilirannya juga akan berpengaruh terhadap masa depan aktivis, terutama aktivis senior (pasca struktur HMI). Tidak jarang aktivis senior HMI menekan juniornya untuk mengikuti syahwat politiknya, dengan melakukan penekanan segala cara dari mulai iming-iming S2, jabatan di jenjang selanjutnya, iming-iming jadi dosen, sampai ke iming-iming yang sifatnya materialistik.
Padahal, fungsi perkaderan HMI adalah pertama, menumbuhkan kesadaran bahwa proses menuju kesempurnaan hidup bagi setiap manusia adalah proses yang panjang, bahkan dilalui selama hidupnya. Kedua, Bagi HMI, seluruh aktivitas termasuk mekanisme organisasi dan individu anggota selama berada di HMI adalah proses kaderisasi. Ketiga, Setiap proses di HMI akan membawa akibat pada dirinya, bahkan dapat merupakan suatu bentuk kepribadiannya. Keempat, dalam konteks HMI, perkaderan tidak melulu di konfrontir oleh rumusan tujuan HMI, tapi juga harus tampak lebih ekspresif dalam’ pengujian hidup selanjutnya.
AGENDA KERAKYATAN SEBAGAI NAFAS ORGANISASI
Dengan segala harapan yang sempat mengemuka, realitasnya gairah perjuangan para aktivis cenderung menurun, seiring lambatnya respons terhadap dinamika eksternal-keumatan. Lambatnya respon dan lemahnya sinyal keumatan ini karena sebagian besar aktivis HMI cenderung membelenggu dirinya justru dengan cara membangun structural movement (merapat ke pusat kekuasaan) melalui relasi patron-client. Ironisnya relasi patron-client tersebut hanya berujung pada simbiosa yang tidak mutualistis. Dominasi power interest dalam relasi tersebut lebih banyak membonsai gerakan kerakyatan.
Silahkan menilai sejauh mana kontribusi HMI pada 5 (lima) agenda besar Indonesia, mulai dari recovery ekonomi yang dibangun atas prinsip efisiensi-efektifitas, pemberdayaan politik melalui pembangunan sistem yang transparan dan accountable berbasis partisipasi masyarakat, agenda penegakan supremasi hukum, penegakan HAM, agenda pentingnya menjaga kelestarian lingkungan, belum ditambah problem rill macam naiknya BBM, TDL, kekerasan rumah tangga, hubungan diplomatik, dan lain-lain. Padahal, agenda kerakyatan adalah arus utama membangun kehidupan bernegara yang baik. Harusnya, paradigma HMI adalah paradigma yang berangkat dari idealisme kemahasiswaan. Simbol HMI adalah simbol yang harus dekat dengan atribut kerakyatan, dan aktivitas HMI adalah aktivitas yang harusnya menjawab kebutuhan rakyat.
MENURUNNYA REPRODUKSI INTELEKTUAL
Seperti yang disingung di atas, fenomena menurunnya ghirah perjuangan dimulai dari semakin berkurangnya reproduksi intelektual di HMI. Indikasi yang paling mudah dibaca atas hipotesis ini adalah lambannya kemunculan tokoh pasca Cak Nur, Abu Bakar Baásyr, Abdullah Hehamahua, dll. Lihat saja, nyaris tidak ada dinamika pemikiran (terutama keislaman) yang menonjol yang bisa dijadikan bahan kajian pasca limited group-nya Cak Nur, Ahmad Wahib, Dawam Rahardjo, dan kawan-kawan seangkatanya.
Dari fenomena tersebut nampak ada stagnasi kader. Bahkan banyak aktivis HMI dijangkiti sindrom "kilauan sejarah", karena terlalu silau dan terlena oleh gemerlapnya sejarah HMI tanpa sekalipun membuat karya.
Mereka lebih sibuk berebut jabatan struktural karena merasa mendapat garansi masa depan cerah bila telah meraih jabatan Ketua Umum atau jabatan lain, apalagi sampai tingkat PB HMI. Tidak sedikit diantara mereka yang drop out (DO) hanya karena sibuk mengejar karier di HMI. Mereka lupa, garansi masa depan ada pada potensi dirinya, bukan pada para alumni HMI. kalaupun jabatan di HMI berpengaruh, tapi sungguh signifikansinya tidak sebesar harapannya.
PERLUNYA REVIVALISASI
Sedikitnya ada 4 (empat) tawaran bagi HMI ke depan. Pertama, memperkokoh independensi, baik independensi organisatoris maupun independensi etis. Independensi organisatoris akan mencegah HMI menjadi underbouw kekuatan politik lain. Sedangkan independensi etis akan menuntun HMI untuk tetap setia dalam memperjuangkan kebenaran. Karena begitu HMI committed pada suatu kelompok, saat itu pula HMI kehilangan sifat independen-nya.
Kedua, membangkitkan kembali dinamika intelektual. Forum diskusi terbatas mulai menghilang dari kebiasaan para aktivis HMI. Indikasi sederhana yang bisa dibaca dari fenomena ini antara lain, semakin kaburnya proses kelanjutan pengaderan yang ditandai dengan tidak adanya follow up training yang jelas, reproduksi instruktur melalui Senior Course (SC) yang lamban, serta semakin sulitnya mencari pemandu hanya untuk sekadar mengelola LK I.
Ketiga, meningkatkan spiritualitas kader. Rendahnya minat kader HMI untuk belajar dan mendalami ajaran Islam sebagai problematika tersendiri bagi organisasi ini. Padahal, faktor yang menjadikan organisasi ini besar adalah tumbuh suburnya pemikiran Islam yang rasional. Pelanggaran terhadap ajaran Islam secara terang-terangan baik dalam konteks ibadah maupun amal dipandang sebagai sikap yang dapat menurunkan kredibilitas organisasi, dan harus diberi sangsi organisasi. Salah besar dalam sebuah organisasi Islam, persoalan keislaman diserahkan kepada individu kader.
Keempat, memperjelas orientasi arah pengaderan. Sesuai tujuan HMI yang termaktub dalam AD/ART, maka profil kader adalah sebagai insan akademik, pencipta (kreatif), pengabdi (beretos ibadah tinggi) bertanggung jawab (amanah), menjunjung tinggi nilai Islam demi tegaknya masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah. Tujuan inilah yang kemudian menjadi muara orientasi proses pengaderan yang ada di HMI.
Sebagai khatimah, Sekuat dan sebesar apapun HMI bila tidak adaptif dalam merespon masalah maka akan punah jua. Apabila HMI dapat adaptif dan mere-orientasi dirinya, HMI akan bertahan sebagai organisasi profesional, modern, dan sustainable. Semoga HMI dapat menjadi Harapan Masyarakat Indonesia sesuai amanat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Selamat milad ke-74 tahun almamater tercinta. Yakinkan dengan niat, sampaikan dengan usaha. Bahagia HMI!. Yakin Usaha Sampai.