Maarten van den heuvel

27

Okt

2020

STRATEGI KEBUDAYAAN DAN KEDAULATAN NEGARA

Pemerintah sedang menyusun "Cultural Strategy" demi terwujudnya Kedaulatan Negara, begitu bunyi running text di televisi saat itu. Menarik. Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa terdapat perbedaan antara Kedaulatan Negara dengan Kedaulatan Nasional. Ketika bicara Indonesia berkedaulatan, kita cenderung mengelaborasi konsepsi "kedaulatan nasional", agar secara epistemologis dan praksis dapat dijalankan. Kedaulatan sebagai makna 'superanus' atau 'sovereignty' itulah yang kini tidak dinikmati Indonesia, bahkan kalau terus menerus begini, bisa menjurus jadi 'fail state'. Kedua, kedaulatan negara sangat dekat dengan konsepsi "otonomi negara", "korporatisme negara", "negara otoriter-birokratik. Negara Orde Baru adalah wujudnya. Oleh karena itu, locus kedaulatan harus digeser dari domain "Negara" menjadi "Nasional", dalam arti masyarakat dan bangsa".

Kita meyakini bahwa jalan tercepat dan paling aman untuk mewujudkan kedaulatan nasional adalah jalan EKONOMI, lebih tepatnya entrepreneurial economy yang kuat di tangan masyakat bangsa. Sehingga komoditas lokal yang berjaya namun kini banyak dikuasai asing, dapat kita rebut kembali. Garam, tembakau, sawit, industri farmasi adalah sederet sektor strategis yang banyak dikuasai asing. Mau diambil kembali saja susahnya setengah mati. Malah kadang semacam ditentang karena dianggap mengusik 'comfort zone' para pemilik modal.

Selanjutnya, cultural strategy seperti apa untuk membangun basis ekonomi ini? Banyak pendekatan. Salah satunya konsep 'culture matters'. Studi kasus benturan peradaban yang dikemukakan Samuel Huntington di Ghana dan Korea Selatan itu bagus. Dulu, medio tahun 60-an, keduanya dibangun dengan modal dan cara yang sama. Tapi tiga dekade kemudian hasilnya beda. Korea Selatan maju menjadi raksasa industri sementara Ghana tertinggal dengan pendapatan per kapita seperlimabelas dari Korsel. Mengapa? Ya karena persoalan culture matters tadi. Korea Selatan memberi penghargaan lebih kepada investasi, efisiensi, organisasi, kerja keras, pendidikan, dan disiplin. Sedangkan Ghana mungkin tidak demikian.

Lalu kini, culture matters apa yang eksis pada diri bangsa Indonesia yang bisa kita kembangkan untuk mewujudkan basis ekonomi nasional yang kuat demi tercapainya kedaulatan nasional? Inilah sesungguhnya question research bangsa Indonesia saat ini. Apa betul Indonesia kita ini punya konsep strategi kebudayaan, atau hanya sebatas retorika. Strategi kebudayaan model seperti apa yang di maksud? Revolusi Iran, Revolusi China, Revolusi Mesir, Rusia pasca Uni Sovyet? atau Mataram Islam pasca Majapahit?

Sudah lumrah bahwa setiap perubahan besar yang terjadi pada suatu bangsa pasti ada strategi kebudayaan yang bekerja di dalamnya, hal ini menyangkut cara pandang dan penguasaan, menempatkan manusia dengan semua lingkungan sekitarnya. Dulu kita mengenal ada revolusi industri di Jepang, yang namanya Restorasi Meiji. Ada prinsip-prinsip kebudayaan yang diartikulasikan dalam relasi ekonomi politik dan hukum. Busido di Jepang yang dipengaruhi oleh ajaran Shinto dan Buddhisme Zen, itu bagian dari strategi kebudayaan.

Bagaimana dengan China? banyak yang bilang strategi budaya China gagal total di bawah Mao Zedong. Salah satu revolusi kebudayan China, antara lain mengubah haluan Partai Komunis China dari Marxisme Leninisme ke Confusianisme-taoisme (Sebenarnya : Komunisnya sih tetap, hanya nilai-nilainya saja yang diganti dari Marxisme ke Confusianisme), sejauh ini belum bisa disebut gagal, terutama dalam hal kemajuan ekonomi yang mereka capai hingga saat ini.

Begitu juga dengan negara lainnya. Revolusi kebudayaan Iran, menghentikan Islam Liberal Syah Iran, Pahlevi dengan Syiah Imam 12. Uni Sovyet bubar karena kegagalan Perestroika dan Glasnost. Revolusi buruh di Polandia, dengan Rosa Lexemburgo-nya hanya bertahan tiga tahun saja, kemudian jatuh ke otoritarianisme. Nah yang langgeng itu Restorasi Meiji tapi konsekuensinya mengharuskan Kaisar yang diyakini sebagai turunan langit itu, hanya jadi simbol, tanpa kekuasaan eksekutif.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sumber foto cover : @mvdheuvel

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk domestik dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: