21
Feb
2015
Saya ingat pelajaran sejarah waktu SMA dulu, artefak Homo Wajakensis yang hidup di jaman Plestosinatas ditemukan juga di Trenggalek. Secara historis, Trenggalek dipengaruhi oleh Perjanjian Giyanti, pada tahun 1755, yang terkenal dengan nama palihan negari, karena dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di bawah Sultan Hamengku Buwana I. Di dalam Palihan Negari itu, Trenggalek menjadi wilayah Kasunanan sebagai bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta, yang kemudian berkesinambungan menjadi wilayah kerajaan Kediri.
Dari jaman Kediri hanya ada beberapa hal yang dapat dicatat, utamanya pada masa ini munculnya prasasti Kamulan yang terletak di Desa Kamulan Kecamatan Durenan Kabupaten Trenggalek. yang menceritakan ucapan terimakasih Prabu Kertajaya dari Kediri kepada rakyat Kamulan yang telah membantu memerangi musuh kerajaan.
Kata Trenggalek dianggap berasal dari kata “terang” dan “gale”, diartikan sebagai terang ing galih. Trenggalek dianggap sebagai daerah yang memperoleh karunia melalui hati yang jernih, senada dengan tetangganya, Tulungagung yang dianggap sebagai orang yang “memberi pertolongan besar”.
Menurut manuskrip Kraton Kasunanan Surakarta, kata Trenggalek secara sederhana ialah kota gaplek. Daerah penghasil gaplek. Nama itu sudah muncul pada zaman Raja Mataram sebelum Mpu Sindok, yaitu Rakai Dyah Wawa (924-928). Kata Trenggalek digunakan untuk menunjukkan daerah penghasil gaplek, ketela pohon yang dikeringkan. Gaplek pada zaman itu merupakan makanan rakyat jelata tetapi sekaligus hidangan khusus di kraton. Gaplek diolah menjadi karak, dimasak seperti masak beras dan dihidangkan bersama-sama dengan air gula merah. Jenis gaplek yang digunakan ialah gaplek yang “terang” berwarna putih bersih. Senang rasanya sempat berkunjung di kota Trenggalek. Semoga kota Trenggalek senantiasa "Jwalita Praja Karana!", cemerlang karena rakyat. (mi)
Senarai Acuan
Moentadhim, Martin. 2010. Pajang: Pergolakan Spiritual, Politik dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Genta Pustaka.
Purwadi. 2008. Babad Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surkarta danYogjakarta. Yogyakarta: Penerbit Media Abadi.