Jaredd craig

02

Feb

2015

ONTOLOGI, EPISTEMOLOGI, dan AKSIOLOGI

Dasar manusia mencari dan menggali ilmu pengetahuan yang bersumber kepada 3 (tiga) pertanyaan, (i) Apa yang ingin kita ketahui?, (ii) bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan?, dan (iii) Apakah nilai (manfaat) dari pengetahuan tersebut bagi kita?. Ciri ilmu pengetahuan yang telah disebutkan pada dasarnya akan memberikan jawaban atas ketiga pertanyaan yang telah diajukan di atas. Sementara filsafat memepelajari masalah ini sedalam-dalamnya dan hasil pengkajianya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu.

Pertanyaan pertama di atas merupakan dasar pembahasan dalam filsafat dan biasa disebut dengan ontologi, pertanyaan kedua juga merupakan dasar lain dari filsafat, disebut dengan epistemologi dan terakhir merupakan landasan lain dari filsafat yang disebut dengan aksiologi. Ketiga hal ini merupakan landasan bagi filsafat dalam membedah setiap jawaban dan seterusnya membawa kepada hakekat buah pemikiran tersebut. Hal ini juga berlaku untuk ilmu pengetahuan, kita mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama untuk mendapatkan gambaran yang sedalam-dalamnya.

Aspek peninjauan ilmu terdiri dari ; Pertama, Ontologis (masalah apa?), Apakah yang ingin kita ketahui? Atau apakah yang menjadi bidang telaah suatu ilmu ? Kita ketahui ada 2 (dua) macam obyek ilmu; (i) obyek material, seluruh lapangan atau bahan yang dijadikan obyek penyelidikan suatu ilmu, dan (ii) obyek formal, obyek material yang disoroti oleh suatu ilmu, sehingga membedakan ilmu yang satu dengan yang lainya.

Alam semesta merupakan objek material, dan objek formalnya dapat berupa manusia, hewan, tumbuhan dan material lain yang ada di alam semesta. Sehingga secara objek formal kita mempunyai beberapa disiplin ilmu pengetahuan dengan cabang-cabangnya. Misal dalam ilmu eksak terdapat ilmu tentang materi: biologi, fisika, kimia, geologi dll. Demikian juga dalam disiplin ilmo social ada beberpa bidang keilmuan seperti sejarah, ekonomi, dan lain sebaginya. Ilmu pengetahuan sendiri sangat bersandar akan fakta empiris. Fakta empiris, yaitu: fakta yang dapat dialami langsung oleh manusia dengan mempergunakan pancainderanya, merupakan objek yang dipelajari oleh ilmu pengetahuan. Di luar hal yang diebutkan di atas adalah di luar jangkauan ilmu pengetahuan.

Mengenai objek empiris ini, dibangun dengan 3 (tiga) asumsi: (i) obyek-obyek tertentu yang memiliki keserupaan satu sama lain, misal dalam hal bentuk, struktur, sifat dan lain sebagainya. Dari wilayah ini kemudian timbul klasifikasi dan taksonomi. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya sedangkan taksonomi merupakan cabang keilmuan yang pertama kali berkembang. Konsep ilmu lain yaitu komparatif dan kuantifikasi yang hanya dimungkinkan dengan adanya klasifikasi ini.

Asumsi (ii) suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini sering disebut dengan kelestarian relatif. Kelesatrian relatif dalam jangka waktu tetentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.

Asumsi (iii) adalah asumsi determinasi dengan anggapan bahwa tiap gejala materi bukan terjadi dengan secara kebetulan tetapi gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama.

Determinasi dalam pengertian ilmu bersifat peluang. Statisitika merupakan metode yang menyatakan hubungan peluang antara gejala-gejala dalam penelaahan keilmuan. Statistika mempunyai peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakekat lmu akan sangat berlainan bahkan sulit untuk dicapai.

Kedua, epistemologis (bagimana?) suatu teori pengetahuan yang membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha kita memeperoleh pengetahuan. Dalam prespektif keilmuan metode ini sering diidentikkan dengan metode keilmuan (metode ilmiah). Metode ilmiah ini dapat dikatatakan koreksi atas metode sebelumnya yang berkembang yaitu rasionalisme dan empirisme.

Rasionalisme adalah adanya anggapan bahwa manusia tidak mempelajari apapun, ia hanya mengingat/teringat apa yang telah dia ketahui. Semua prinsip-prinsip dasar dan bersifat umum sebelumnya sudah ada dalam fikiran manusia. Pengalaman indera paling banyak hanya dapat merangsang ingatan dan membawa kesadaran terhadap pengetahuan yang selama ini sudah ada dalam pikiran manusia.

Sedangkan metode ilmiah sedikitnya dapat dirumuskan ke dalam 6 (enam) proses, yaitu ; (i) Kesadaran dan Perumusan masalah, (ii) Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, (iii) Penyusunan dan klasifikasi data, (iv) Perumusan hipotetis, (v) Deduksi dan hipotesis, (vi) Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa

Ketiga, aksiologis (untuk apa?) Untuk menjelaskan pertanyaan apa kegunaan ilmu itu bagi kita? Hal ini jelas akan menjadi pertanyaan yang akan terus-menerus diajukan. Apalagi dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam kaitannya dengan kesejahteraan manusia.

Metode untuk mendapatkan ilmu pengetahuan menjadi pembahasan tersendiri yang disusun secara sistematis dan logis sehingga menjadi ilmu yang berdiri sendiri yang kemudian disebut metodologi. Filsafat mencakup epistemologi, selanjutnya epistemologi mencakup metodologi. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa metodologi merupakan salah satu perwujudan operasional dari epistemologi

Islam memandang bahwa sumber epistemologi Islam pertama kali adalah Tuhan. Selanjutnya Tuhan memberikan kekuatan-kekuatan pada manusia. Pengalaman empirikal, pemerhatian dan pengamatan indera hanya sebagian dari sumber-sumber yang bermuara pada kekuatan Tuhan. Pengalaman empirik, perasaan, rasa hati limpahan dan pergvulatan pemikiran adalah sekian banyak lagi limpahan kekuatan dari Tuhan. Sumber ilmu adalah Tuhan. Ilmu tersebut, hanya dapat diterima oleh manusia dengan usaha kerja amal ibadah serta kesucian hidupnya yang dipandu oleh kehendak Tuhan. Karena sumber ilmu adalah Tuhan, ilmuan adalah perakit butiran-butiran ilmu dalam tataran sistemik yang disebut manusia dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan untuk mempermudah menggalinya.

Sumber epistemologi Islam kedua adalah al-Qur’an. Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam, yang berfungsi sebagai petunjuk dan pembeda. Sehingga dalam konteks ini al-Qur’an menjadi tolak ukur dan pembeda antara kebenaran dan kebathilan. Al-Qur’an memberikan apresiasi yang tinggi bagi pencarian hikmah dan ilmu pengetahuan. Muhammad adalah salah satu utusan-Nya yang mendorong pengikutnya untuk menuntut ilmu sebanyak-banyaknya.

Berangkat dari pemahaman tersebut, al-Qur’an dan sunnah adalah sumber fundamental metodologi Islam. Pengetahuan akan keduanya adalah pangkal metodologi Islam. Pangkal itu merupakan pusat pertumbuhan ilmu pengetahuan. Pangkal tersebut juga memuat beberapa pengetahuan yang relevan dengan setiap disiplin ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, al-Qur’an memiliki kedudukan tertinggi. Hal ini dimungkinkan karena dalam upaya pengembangan ilmu pengetahuan yang akan dilakukan adalah menjadikan wahyu illahiah menjadi kebenaran mutlak, seperti yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Wahyu (al-Qur’an) mencakup informasi yang tidak terjangkau oleh akal dan indera, sedangkan indera hanya berfungsi sebatas yang dapat dilihat, dicium, diraba, dan dirasa, dan akal hanya bekerja pada sesuatu yang dapat dinalar dan dipikirkan. Dalam konteks demikian, sumber ilmu pengetahuan seperti indera dan akal harus tunduk pada wahyu. Cara untuk mengenal alam yang menjadi obyek ilmu pengetahuan dikenal dengan istilah sains, yairu aktualisasi segala kemungkinan dalam akal. Namun aktualisasi tersebut hanya mungkin jika ada ketertundukan akal terhadap wahyu.

Sumber epistemologi Islam ketiga adalah sunnah. Dari segi sumbernya (wahyu) sederajat dengan al-Qur’an, dari segi kekuatan ia berada setelah al-Qur’an, karena berkualitas rinci dan global, sedangkan sunnah berkualitas global saja, tidak secara rinci. Disamping itu al-Qur’an merupakan pokok, sedangkan sunnah sebagai cabang, karena posisinya menjelaskan dan menguraikan.

Berkaitan dengan metode ilmiah ada beberapa istilah yang sering digunakan yaitu: postulat, asumsi, hipotesa, dan teori. Postulat disamakan dengan aksioma, Aksioma ialah perjanjian tetap, tetapi dibuat semau-maunya sebagai dasar sesuatu dalam ilmu pasti. Aksioma adalah dalil yang dianggap benar, meskipun kebenarannya tak dapat dibuktikan (filsafat, version) Misal : dalil tentang adanya tuhan dalam filsafat Kant: Adanya Tuhan merupakan postulat yang perlu, supaya hidup manusia berlaku secara susila.

Asumsi atau anggapan dasar adalah anggapan yang sudah dianggap benar yang tidak diragukan lagi, terutama oleh si penyelidik itu sendiri. Asumsi itu sendiri adalah titik tolak segala pandangan kegiatan yang dihadapi oleh ”si penyelidik”. Asumsi sedikitnya bersumber pada (i) mengambil dari Postulat, yaitu kebenaran a priori, yaitu dalil yang dianggap benar walaupun kebenarannya tidak dapat dibuktkan. Kebenaran yang diterima sebelumya secara mutlak, (ii) Kedua, mengambil dari teori ahli terdahulu, yang kebenarannya tidak disangsikan lagi oleh masyrakat, terutama oleh si penyelidik itu sendiri.

Hipotesa berasal dari paduan kata hypo (kurang); thesis (kesimpulan pendapat), yaitu suatu praduga yang dianggap besar kemungkinan untuk menjadi jawaban yang benar. Hipotesa dapat dikatakan sebagai teori sementara sehubungan dengan hipotesa ini adalah tahapan sebelum diambil kesimpulan berupa teori, Teori sendiri adalah hipotesa yang sudah dapat dibenarkan, karena sudah terbukti kebenarannya secara empiris. (mi)

Sumber foto : Jaredd Craig *The Last Bookstore, Los Angeles, United States

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik. Suka membaca dan menulis, seneng marketing dan public relations. Pernah menjadi Juru Bicara Perusahaan dan mengelola penjualan retail untuk seluruh wilayah Indonesia, serta mengelola program TJSL, CSR, dan comdev. Saat ini bertugas mengembangkan produk-produk baru perusahaan.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: