Toxic

25

Agu

2020

TOXIC POSITIVITY, MEMOTIVASI SEKALIGUS MERACUNI

Barangkali pernah saat kita mendapati suatu masalah bisa di rumah dan di tempat kerja atau di tempat bermain kemudian curhat pada teman atau rekan kerja, lalu mereka menanggapinya dengan mengkatakan; “Udah, lihat sisi positifnya dong”, “Sepertinya kamu kurang bersyukur, deh”, “Don’t worry, be happy!”, "Iya, sabar aja", atau “Tenang, banyak kok yang nggak seberuntung kamu”?. Hal itu termasuk toxic positivity lho. Percaya deh, nggak semua orang butuh disemangati saat mereka bercerita soal pengalaman buruk atau perasaan negatifnya. Hati-hati, alih-alih membantu, kita malah kerap terjebak mengatakan hal-hal yang seakan-akan positif, padahal bukan itu yang sedang dibutuhkan orang Si Pemilik Masalah. Setiap emosi itu punya pesan, baik itu marah, rasa jengkel, cemburu, bahagia, sedih, atau takut. Bila ekspresi-ekspresi demikian disangkal atau dipendam hanya untuk terlihat baik-baik saja di depan publik, yang akhirnya malah muncul adalah denial pada perasaan sesungguhnya yang sedang dirasakan, bahayanya lagi emosi negatif jadi menumpuk, kemudian bisa memicu stres dan psikosomatis.

Saya termasuk yang percaya bahwa nyaris segala sesuatu yang berharga dalam hidup ini dicapai dengan mengatasi pengalaman negatif yang terkait. Setiap upaya untuk melepaskan diri dari hal negatif, untuk menghindarinya, memanipulasinya, atau menyelesaikannya dengan paksa, hanya akan menjadi bumerang untuk diri sendiri. Menghindari penderitaan adalah salah satu bentuk penderitaan. Menghindari perjuangan adalah perjuangan. Penolakan kegagalan adalah kegagalan. Menyembunyikan apa yang memalukan itu sendiri merupakan bentuk rasa malu. Itu bukan kata saya, tapi Mark Manson, penulis buku best seller dunia, The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life.

Sama seperti apa pun yang dilakukan secara berlebihan, ketika seakan kalimat positif digunakan untuk menutupi atau membungkam pengalaman manusia, hal tersebut langsung menjadi racun. Dengan tidak menerima hadirnya perasaan tertentu, kita jatuh pada situasi penyangkalan dan emosi yang tertekan. Sebenarnya, manusia itu lemah. Ia pencemburu, mudah marah, sering kesal, dan kadang tamak bin serakah. Kadang-kadang kita menjalani hidup dengan sangat payah. Dengan berpura-pura bahwa kita selalu baik-baik saja, sesungguhnya kita mulai hidup secara tidak autentik terhadap diri kita sendiri. Kita bahkan akan seperti kehilangan koneksi dengan diri kita sendiri, membuat orang lain sulit terhubung dan berhubungan dengan kita. Bedanya dengan empati? Jika toxic positivity adalah dengan mengucapkan sesuatu yang positif tanpa menghiraukan perasaan Si Pemilik Masalah, maka empati justru sebaliknya. Ia mencoba untuk memahami dan mencoba mengerti terhadap apa yang dirasakan pemilik masalah.

Bagaimana cara menghindarinya? #

Pertama, bersahabatlah dengan perasaan kita, terima dan akui saja perasaan kita. Hidup ini dinamis, nggak melulu bahagia, terkadang juga ada dukanya. Memang demikian, dan jika sedang mengalami kesedihan, kesulitan, atau mendapati masalah yang membuat stress, terima dan akui bahwa itu adalah hal yang wajar. Kita dapat mengatasi toxic positivity dengan mengakui bahwa berbagai emosi kompleks dapat muncul dalam diri kita sekaligus, itu kata Jenny Maenpaa, Psikolog terkenal dari New York.

Kedua, memahami akar perasaan terhadap suatu fenomena sepertinya adalah hal yang bijaksana untuk diri kita. Memahami perasaan adalah proses becoming a human. Sedih itu wajar kok, marah itu wajar, kecewa juga wajar. Kita tidak perlu serta merta menolaknya. Tidak mengapa begitu senyampang tidak berlarut-larut dan sampai mengganggu aktivitas juga kesehatan.

Ketiga, kendalikan racun media sosial. Jika dicermati medsos sebenarnya juga bisa menjadi sumber toxic positivity. Banyak orang bersembunyi di balik kalimat; “Having a positive attitude”, “Good vibes only”, atau “Be happy”, dan lain-lain. Kadar pikiran positif yang terlalu hegemonik seperti itu juga tidak baik dan berbahaya. Berpikir dan bersikap positif tidak selalu menjadi cara terbaik untuk mengekspresikan diri atau membantu orang lain. Mengakui bahwa tidak bahagia adalah bagian dari hidup dapat membantu kita merasa lebih terkendali. Mencoba untuk tidak sering-sering membuka medsos dan terpengaruh olehnya, sepertinya bisa melatih agar bisa fokus pada diri sendiri.

Keempat, tuliskan perasaan kita. Saya termasuk yang melakukan hal ini. Menuliskan bagaimana perasaan (bukan membaginya di media sosial) akan melatih kita agar lebih bisa mengendalikan diri. Menulis bisa jadi media untuk menguraikan emosi dan perasaan agar lebih realistis dalam menjumpai sebuah fenomena kehidupan.

Kelima, ini penting. It is okay to be not okay, saya sangat percaya dengan diktum tersebut. Nggak perlu memaksakan diri untuk terlihat bahagia saat kita sedang bersedih atau berusaha kuat saat kita sedang tidak baik-baik saja. Tidak perlu menyangkal apa yang dirasakan, atau bahkan malah meredamnya. Memotivasi diri sendiri memang perlu, tapi jangan sampai ia menjadi racun yang terbungkus manis.

Kata banyak ahli, menjadi manusia yang sehat membutuhkan keterlibatan kesadaran akan diri kita sendiri. Toxic positivity adalah upaya yang cenderung memaksakan pola pikir monokromatik. Alih-alih mempriktikkan hidup yang positif, kita malah kehilangan keseimbangan dan kemampuan untuk berhasil mengendalikan emosi baik dan buruk. Matahari saja tidak bersinar 24/7, perasaan manusia juga nggak bekerja seperti itu. Nyatanya, memerhatikan dan menjalani emosi kita saat datang dan pergi dapat membantu kita lebih memahami diri sendiri, dan orang di sekitar kita. Masing-masing kita mendapatkan satu kesempatan dalam kehidupan yang kadang indah, kadang juga menyakitkan, dan serba tidak sempurna ini. Menerima kesemuanya dengan ketulusan akan menuai kelimpahan hasil. (mi).

Sumber foto cover : picpedia.org

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk domestik dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: