Nick fewings Ekyuh D7uw SM unsplash

05

Apr

2023

CSR LEADERSHIP

Baru-baru ini saya diminta untuk berbagi perspektif mengenai leadership dalam pengelolaan program-program Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan atau kalau di Lingkup BUMN lazim disebut program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL). Saya senang karena dapat berbagi pandangan yang lebih optimis bahwa CSR jangan dipahami dalam arti yang sempit, yakni hanya sebatas charity atau ‘bagi-bagi uang” untuk membantu masyarakat. Dengan kata lain CSR dewasa ini hanya dipahami parsial menjadi salah satu dari 7 (tujuh) core subject dalam ISO 26000 yaitu community Involvement and Development saja. Perlu juga kita memperhatikan aspek leadership dan tata kelola perusahaan, bagaimana perusahaan membuat dan menerapkan keputusan yang strategis sehingga prinsip tanggung jawab sosial dapat diterapkan.

Banyak definisi tentang leadership, tapi favorit saya adalah dari James Kouzes dan Barry Zane Posner, dalam magnum opus mereka “The Leadership Challenge”. Leadership bagi mereka adalah Change, Dream, Empower, Model, Love. Lima model ini banyak mempengaruhi saya saat mengelola program-program CSR.

Pertama, CHANGE. Dalam model ini, leader untuk program-program CSR ditantang mengambil resiko, menantang proses, menerima ide baru, inovasi, membuat dasar baru, dan bergerak dari status quo. Ia harus mencari peluang untuk melakukan inovasi, lalu bertumbuh dan meningkat. Di CSR banyak program yang dilahirkan dengan prinsip-prinsip ini. Program MANGGA (Mitra Kebanggan –red.) yang mengantar mitra binaan bertahan pasca pandemi misalnya, adalah program inovasi yang menantang proses. Bagaimana membuktikan bahwa pembinaan mitra-mitra itu dilangsungkan secara sitematis, terkonsep, dan terstruktur dengan jelas sekaligus nampak responsif dalam mendukung pemasaran dan program MAKMUR yang berskala nasional.

Pengelolaan program community development juga banyak menggunakan pendekatan ini. Mulai dari social mapping, munculnya inovasi sosial, pendekatan Sustainable Livelihood Approach (SLA), sampai eksekusi. Termasuk berani memulai proses penyusunan Sustainability Report sesuai standar GRI (Global Reporting Initiative) yang mencakup 17 SDGs dan 7 (tujuh) core subject ISO26000.

Keberanian merubah dan memunculkan hal baru seperti ini hanya ada pada seorang leader bukan fungsi manager yang biasanya hanya "meneruskan" apa yang sudah berjalan. Setiap perubahan pasti menimbulkan resistensi baik di dalam maupun di luar organisasi. Itu tidak jadi soal, pimpinan unit kerja dibayar salah satunya untuk menghadapi resistensi.

Kedua, DREAM. Leader untuk program-program CSR menginspirasikan visi yang hendak dicapai bersama. Ia bermimpi dan memimpin visi untuk kebaikan, kemajuan, dan penciptaan kesempatan. Kita tidak berhak disebut pemimpin bila kita tidak tahu ke mana kita akan melangkah. Seorang leader di CSR harus banyak mengalokasikan waktu bersentuhan dengan banyak pihak termasuk masyarakat sekitar dan pengambil kebijakan di daerah. Ia harus tidur bersama-sama program yang akan dijalankan, kadang malah harus "eat, sleep, and dream" with the business. Kalau Anda gak "ngeloni" bisnis Anda, mana bisa punya mimpi. You must have a passion, so you will have a dream.

Apalagi program CSR memang relatif unik dan menarik dibanding program non CSR. Keunikannya terletak pada strategi komunikasi goal/tujuan CSR yakni terciptanya keberlanjutan dalam dalam 3P (Profit, People, dan Planet) juga menarik, karena dalam program CSR terdapat beyond complience, perusahaan melampaui batas tanggungjawabnya dengan kepedulian, ada aspek sosial. Dengan pendekatan CSV (Creating Share Value) perusahaan dimungkinkan untuk dapat mendesain program CSR selain bermotif ekonomi juga sekaligus berdampak sosial ekonomi bagi masyarakat.

Thus, leader di bidang CSR benar-benar harus ngeloni pekerjaannya hingga dapat memunculkan program-program yang menjawab kebutuhan lingkungan dan masyarakat. Seorang Manajer yang biasa-biasa saja hanya bisa melihat persoalan hari ini, tapi sepertinya karena sibuk dengan rutinitas dan administrasi jadi kesulitan melihat big picture atau membayangkan sesuatu yang akan dicapai di kemudian hari.

Ketiga, EMPOWER. Memberdayakan orang. Dalam mencapai tujuan perusahaan, memfasilitasi bawahan untuk mencapai tujuannya melalui pemberdayaan dan motivasi adalah hal penting yang harus rutin dilakukan. Seorang leader dari program-program CSR sejatinya sadar bahwa nggak semua bisa dikerjakan sendirian. Ia nggak boleh minder, harus percaya diri dan tidak takut memberdayakan orang lain, termasuk anggotanya. Tidak boleh takut akan "kalah" dari orang lain. Di CSR, Anda bukan cuma melakukan "delegation of authority" seperti yang dilakukan seorang manajer. Tapi malah mendorong orang lain di bawah koordinasinya untuk berkreasi. Perusahaan membayar Anda untuk kreativitas, bukan hanya untuk pekerjaan rutin.

Oleh karenanya, leader yang baik biasanya akan nggak begitu suka pada orang yang cuma jadi "yes man". Ia butuh seseorang yang bisa come up with an idea. Ia bahkan harus menyiapkan diri untuk dibantah dan siap di-counter, kalau sedang membahas ide gila. Tentu bantahan dan counter yang dimaksud bukan didasari sifat resisten atau nggak mau berubah. Semuanya harus didasari pada penguasaan masalah termasuk data, info, pengetahuan, termasuk rumor!. Biasanya seorang manajer old school akan ketakutan kalau staf di bawah kordinasinya punya data dan informasi bahkan lebih pintar darinya. Saya tidak demikian dan tidak perlu juga begitu. Itulah arti "empowerment" sebenarnya.

Keempat, MODEL. Leader di CSR mampu “nunjukin caranya”, modeling the way. Ia memimpin lewat contoh. Kita selalu meyakini bahwa perbuatan pemimpin jauh lebih penting dari perkataannya. Pemimpin harus menunjukkan contoh terlebih dahulu dalam tindakan sehari-hari dan mempertunjukkan komitmen yang mendalam atas apa yang diyakininya, termasuk bagaimana bawahan harus diperlakukan.

Artinya, pemimpin berani jadi contoh untuk yang lain. Bukan ngomong thok! Seorang manajer atau di level middle manager sering kali cuma bisa manuver dalam intrik, pintar mencari alasan, atau hanya sebatas slogan. Akibatnya, staf di bawah kordinasinya tidak percaya. Wibawa dalam leadership muncul ketika mereka mulai mendapatkan “trust” dari followers-nya, bukan cuma takut karena kalah "authority".

Kita ingin semua orang yang terlibat dalam pengelolaan program CSR perusahaan menjadi orang yang kreatif, konsekuensinya pimpinannya juga harus kreatif, nggak boleh kehabisan ide, bahkan kadang bisa sampai melewati office hour mengembangkan ide yang baru ketemu. Buahnya, walaupun bukan satu-satunya yang terbaik, tapi saat ini CSR Petrokimia Gresik berkembang menjadi model untuk perusahaan lain! Di benchmark kiri kanan, terutama dalam aspek mengkomunikasikan program-program CSR. Seorang leader, berbeda dengan manajer medioker, ia tidak takut ditiru bahkan pingin ditiru! Begitu ditiru atau diikuti orang, atau bahkan mendapatlkn rekognisi dari pihak luar berarti dia sedang berada di jalan yang benar. Termasuk di dalamnya pengakuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk penilaian Proper Emas yang membuktikan keseriusan korporasi mengelola kinerja lingkungan dan community development.

Kelima, LOVE. Menurut saya, leader itu harus menyemangati jiwa, encouraging the heart. Prinsip ini mirip dengan prinsip ketiga di atas, memberdayakan orang lain untuk bertindak. Ia juga memberikan semangat, motivasi, dan kegairahan para bawahan dalam mencapai tujuan organisasi. Saya selalu meyakini adagium terkenal “Love to what you do and do what you love”, dari Ray Douglas Bradbury, seorang penulis scenario terkenal dari Amerika. Syarat ini mutlak bagi seorang leader yang mengelola program-program CSR. Karena memimpin CSR itu leading by heart, no longer leading by power. Ia adalah wajah Direksi yang mencerminkan welas asih terhadap masyarakat. Ada aspek reputasi yang harus seorang leader kelola dengan baik.

Kemauan untuk melakukan empat hal sebelumnya yaitu Change, Dream, Empower, dan Model memang harus didasari kecintaan pada apa yang sedang dikerjakan. Bukan hanya karena seperti seorang manajer yang sekedar ditugaskan atau ditempatkan disana. Hati juga harus banyak digunakan ketika berhadapan dengan orang lain, dengan masyarakat, dan dengan stakeholders lain, termasuk staf di bawah kordinasinya.

Kenapa begitu?, karena seorang manajer biasanya hanya punya sub-ordinat dalam hubungan atas bawah yang vertikal. Sedangkan seorang leader punya follower yang secara "suka rela" mengikuti. Mencintai orang lain berarti berusaha melakukan keempat hal sebelumnya supaya orang itu bertransformasi menjadi orang yang lebih baik. Itulah yang dinamai "transformational leadership". Bagaimana menurut Anda?

Baca juga seri CSR : Corporate Social Responsibility (CSR) dan Tantangan Mengkomunikasikannnya https://mihwan.id/blog/corpora...

Sumber gambar : Nick Fewings

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk domestik dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: