22
Sep
2020
Dalam Buddhisme Zen ada konsep yang masyhur dikenal sebagai Shoshin, yang berarti "pikiran pemula", sebuah gagasan agar manusia dapat melepaskan prasangka dan kebiasaan terkait dengan pengetahuan dan pengalaman serta memiliki sikap terbuka saat mempelajari sesuatu. Secara etimologi, Shosin berasal dari akar kata bahasa Jepang, sho (awal) dan shin (pikiran) secara harfiah juga sering ditafsir “innocent” atau “tidak berpengalaman”.
Pernah kita menjumpai orang yang gemar sekali memotong pembicaraan? Baru orang berbicara satu-dua kata sudah dipotongnya?. Ya, itu ego seseorang agar terlihat pintar. Kita secara tidak sadar mempunyai mentalitas sok pintar, kita mungkin saja tahu apa yang akan orang katakan, sehingga kita cenderung tidak betah mendengarkannya sampai tuntas. Katakanlah dari sepuluh informasi, kita sudah tahu sembilan tetapi kita tidak pernah berusaha mendengar sampai habis agar kita mendapatkan satu lagi yang kita belum tahu. Betul, apa betul?
Shoshin mentality mendorong kita untuk menjadi murid pemula, menjadi pembelajar. Saat kita benar-benar pemula, pikiran kita terbuka, dan kita bersedia untuk mempelajari dan mempertimbangkan semua informasi, seperti seorang anak yang menemukan sesuatu untuk pertama kalinya. Namun, setelah kita mengembangkan pengetahuan dan keahlian, pikiran kita secara alami menjadi lebih tertutup. Kita akan cenderung berpikir, “Saya paham”, “Saya mengerti dan sudah tahu bagaimana melakukan ini”, kemudian kita menjadi kurang terbuka terhadap informasi baru.
There is a danger that comes with expertise, itu kata banyak orang. Ya, ada bahaya di balik pengalaman dan keahlian. Dengan telah mempelajari sesuatu dan memiliki keahlian serta penguasaan terhadap sesuatu, kita akan cenderung memblokir informasi yang tidak sesuai dengan apa yang telah kita pelajari sebelumnya, dan lebih mencari informasi pembenar akan pendapat kita saat ini.
Saat itu kita berpikir bahwa kita sedang belajar, tetapi pada kenyataannya tidak. Kita menunggu informasi dan mendengar sesuatu hanya yang sesuai dengan mau kita, dan mencari dalil untuk membenarkan perilaku dan keyakinan kita saat ini. Kebanyakan orang memang tidak menginginkan informasi baru, mereka ingin memvalidasi informasi.
Kadang pengetahuan kita sebelumnya menghalangi kita untuk melihat hal-hal baru. “In the beginner’s mind there are many possibilities, but in the expert’s there are few.”, itu kata Shunryo Suzuki, seorang Master Zen di Amerika, dalam bukunya Zen Mind, Beginner’s Mind (1970). Dalam pikiran seorang pemula, akan ada banyak kemungkinan, tetapi dalam benak ahli hanya ada sedikit.. Inilah mengapa dengan pikiran pemula kita dapat melakukan invensi (penemuan) dan inovasi.
Berikut adalah beberapa cara agar kita dapat mengembalikan Shosin mentality kita Pertama, lepaskan keinginan untuk selalu berkontribusi kepada orang. Banyak orang hebat dan berprestasi memiliki kebutuhan untuk dapat memberikan nilai baiknya kepada orang lain. Provide value to the people around itu luar biasa setidaknya sekilas terdengar luar biasa. Tetapi ini ternyata dapat menghambat kesuksesan kita, karena kita jadi lupa terhadap interaksi dengan orang lain.
Jika kita terus-menerus berupaya berkontribusi kepada orang lain, misalkan dengan mengatakan; "Anda harus mencoba ini.." atau "Izinkan saya membagikan sesuatu yang terbukti baik untuk saya .", dan sebagainya, sesungguhnya kita telah membunuh rasa kepemilikan orang lain terhadap proses munculnya ide mereka. Pada saat yang sama, kita juga tidak mungkin mendengarkan orang lain saat kita sedang berbicara. Kita jadi pribadi yang tidak berinteraksi, dan itu nestapa makhluk sosial modern. Jadi, lepaskan saja kebutuhan untuk dapat selalu berkontribusi. Biarkan orang lain berproses menemukan ide mereka.
Kedua, lepaskan keinginan untuk memenangkan setiap perdebatan. Beberapa tahun belakangan ini saya menganut prinsip “orang lain tidak perlu kalah agar saya dikatakan menang”, Filosofi ini membantu saya untuk mengendalikan diri. Bila kita sedang berdebat dan seseorang membuat pernyataan yang tidak kita setujui, cobalah sesekali melepaskan dorongan untuk mengoreksinya. Sekali lagi, mereka tidak perlu kehilangan argumen agar kita dianggap pintar. Mengendalikan kebutuhan untuk dapat membuktikan sesuatu, akan membuka kemungkinan bagi kita untuk mempelajari sesuatu yang baru. Kadang saya sering menantang rasa penasaran saya terhadap argumentasi seseorang. Menantang diri sendiri untuk tetap diam dan mendengarkan orang lain. Saya memandang itu menjadi sesuatu yang menarik, melihat sesuatu bekerja dengan cara yang berbeda itu mengesankan. Bahkan jika kita sedang benar dan mereka sedang salah, itu tidak masalah. Saya bisa pergi dengan lega dan puas meskipun saya tidak memiliki kata terakhir dalam setiap percakapan.
Ketiga, anggap saja kita tdak tahu apa-apa. “Kita semua idiot dan tidak tahu apa-apa, kita hanya beruntung telah mengetahui beberapa diantaranya”. Itu kata Nassim Taleb, penulis buku fantastis; Fooled by Randomness. Banyak hal yang kita temui hanyalah produk dari manusia. Kita semua harus belajar informasi dari seseorang dan dari suatu tempat. Kita tidak tahu apa-apa namun kita dapat memiliki hak istimewa untuk mengetahui sesuatu dengan mulai melepaskan prasangka kita dalam hidup melalui cara berpikir bagai seorang pemula.
Keempat, tetaplah bersikap rendah hati dan mintalah nasihat. Ada baiknya menganggap bahwa kita tidak tahu banyak dan perlu belajar. Kalau sudah tinggi hati dan punya mentalitas sok pintar, tentu sulit bagi kita untuk belajar dari banyak orang. Dengan kerendahan hati, kita akan bersedia untuk menyapa, berbincang, berdiskusi, dan belajar dari semua orang.
Nasihat itu penting. Meskipun mungkin kita mungkin sudah sangat berpengalaman, ahli, dan banyak tahu, tetap saja ada orang lain yang mungkin lebih mengetahui sesuatu yang tidak kita tahu. Dengan berdiskusi, meminta nasihat, kita akan belajar banyak dari orang lain.
Beberapa tahun belakangan saya mempelajari hal-hal ini. Tidak merasa perlu untuk selalu tampil dan banyak bicara agar terlihat menguasai masalah dan pintar. Saya sedang belajar demikian dan percaya bahwa Shoshin Mentality macam ini akan membantu kita menjadi lebih berpengetahuan, tidak terlampau percaya diri, tidak reaktif, dan lebih bersedia untuk terlibat dengan orang lain.
Kita juga sepertinya akan menjadi fleksibel ketimbang menjadi dogmatis, lebih rendah hati dan tidak kurang ajar, kita akan peka terhadap perspektif dan kebutuhan orang lain, bukan malah memotong dan menjajahnya. (mi)
Baca juga :
Sumber foto cover : Sincerely Media