30
Apr
2020
Jumlah Halaman | 254 |
ISBN | 978-602-03-1198-2 |
Bahasa | Indonesia |
PEnulis | Rhenald Kasali |
penerbit | Gramedia Pustaka Utama, Jakarta (2014) |
dimensi | 18 x 24 cm |
Published At | 08/11/2024 00.07 |
"I am more afraid of an army of 100 sheep led by a lion than an army of 100 lions led by a sheep."
- Charles Maurice de TalleyrandRhenald Kasali memulai bukunya dengan quote lantang tersebut. “Seratus ekor kambing yang dipimpin oleh seekor singa akan jauh lebih berbahaya ketimbang singa yang dipimpin oleh seekor kambing”, (halquote mahsyur yang dicetuskan oleh Charles Maurice de Talleyran, diplomat Perancis paling berpengaruh di Eropa pada abad ke-17 mulai masa pemerintahan Louis XIV, Napoleon, Louis XVIII, Charles X, dan Louise-Philippe, seakan mengirimkan kode bahwa seluruh buku ini nantinya akan membahas dan banyak bersentuhan dengan leadership sebagai hal paling penting untuk melewati "the edge of chaos" (ambang kekacauan).
Buku yang lengkapnya berjudul Agility : Bukan Singa yang Mengembik ini berisi materi-materi berbobot yang disampaikan dengan cara sederhana. Buku ini seakan tidak ingin memberi ruang basa-basi yang membuat pembaca menjadi bosan. Rhenald berusaha memberikan contoh kongkrit khususnya dalam urusan Manajemen Bandara. Bandara dipilihnya karena ia melihat iklim persaingannya lebih global dan banyak tuntutan kepada pengelola bandara agar memenuhi kualitas yang diinginkan oleh publik Global dapat terpenuhi.
Berbeda dengan buku sebelumnya, yang berjudul Self Driving (2014) yang banyak membahas mentalitas penumpang atau pengemudi yang banyak dipengaruhi oleh keberanian seseorang mengambil risiko. Seorang bermental penumpang boleh saja tidur sepanjang perjalanan dan tidak perlu marasa harus tahu arah jalan, sementara pengemudi, jangankan tertidur, mengantuk saja tidak boleh. Sedang buku ini menjelaskan makna "agility" sebagai sebuah kapabilitas yang dibangun secara kontinyu agar korporasi dapat merespons perubahan dengan tangkas, efektif, tepat waktu, dan berkelanjutan.
Untuk bertahan di era VUCA (Volatile/bergejolak, Uncertain/ketidakpastian, Complex/kompleks, dan Ambigue/tidak jelas), korporasi membutuhkan pemimpin-pemimpin yang setangkas singa, sekalipun yang dipimpin semata-mata orang baik yang lelet, lamban, dan masih bermental penumpang. Korporasi butuh pemimpin dengan mentalitas pengemudi, yang fokus memimpin di depan dengan semangat ketangkasannya, yang tahu ‘kendaraan’ ini akan dibawa kemana, berani berinisiatif dan mengambil risiko serta tindakan untuk menemukan jalan-jalan baru dan dapat menjadi solusi bagi orang lain.
Ada narasi menarik bahwa seekor singa jika sudah memutuskan untuk mengejar satu mangsa, maka mangsa-mangsa lain tidak ia pedulikan. Bahkan ketika gagal memburu mangsa yang menjadi targetnya pun, sang singa tidak lantas ngawur memburu sembarang mangsa yang ada disekitarnya, ia malah tidak melanjutkan buruannya (hal. 5). Itu bukan gambaran keputusasaan, melainkan karakter sportif. Ia kalah dalam perburuan dan mengakuinya dengan tidak membabi buta memburu mangsa lain. Mereka hanya istirahat untuk kembali berjuang.
Membaca buku ini kita seperti 'diprovokasi' tentang kecepatan, kita dituntut berlari secepat singa. Era ini sudah tidak lagi berbicara tentang economic of scale, perusahaan besar mencaplok perusahaan kecil. Era ini adalah era economic of speed, perusahaan yang menang adalah perusahaan yang mampu bergerak paling cepat dan tangkas memangsa perusahaan yang lambat merespon perubahan.Dalam buku ini Rhenald menjabarkan konsep agility ke dalam tiga kategori. Pertama, strategic agility, bahwa setiap organisasi dituntut memilih pilihan yang tepat. Apakah terus bertahan dalam game lama yang sama dari tahun ke tahun, atau mengambil langkah berani berubah haluan. Kedua, portofolio agility, yakni ketangkasan dalam menggeser resource (talenta, cash, peralatan, dan perhatian manajemen) dari unit-unit yang kurang produktif kepada unit-unit yang lebih prospektif di masa depan. Ketiga, operational agility, yakni ketangkasan yang dihadapi sehari-hari dalam merespons setiap kejadian operasional, baik itu yang terjadi secara tiba-tiba maupun rutin dalam jangka waktu tertentu (hal. 24).
Rhenald juga menyebut agility dengan istilah dynamic capability, kualitas penciuman yang tajam terhadap ancaman (threath) dan kesempatan (opportunity), serta kemampuan berubah (change) dalam menata “resource base”. Business agility, sangat ditentukan oleh personal agility, sebuah hal yang sangat mendasar yang melingkupi kemampuan internal untuk memiliki ketangkasan, kecepatan dan ketelitian.Pemimpin dan pekerja yang seperti ini membutuhkan myelin (memori-memori otot) yang kuat sebagai unsur pembentuk agility atau ketangkasan, kecepatan gerak, dan eksekusi. Tidak hanya mengandalkan brain memory (keahlian berdasarkan pengetahuan), tetapi juga muscle memory (keahlian berdasarkan latihan, terlatih menghadapi segala kemungkinan dan kompleksitas di lapangan)(hal.9).Terakhir Rhenald menegaskan bahwa, leader sekarang harus bertransformasi menjadi horizontal leadership (afiliatif), lincah dalam menjalin relasi dengan segenap stakeholder perusahaan, mampu berkonektivitas secara inovatif, mampu menghubungkan bisnis perusahaan kita dengan bisnis-bisnis lain yang dapat mendukung terwujudnya business enabler (hal. 222). Esensi Kepemimpinan yang sesungguhnya di era agility adalah, keberanian dalam mengambil keputusan, melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, memiliki sense of crisis dan sense of urgency, dan pastinya siap berani menghadapi segala risiko. Sederhananya saya sering menyebut agility ini adalah bekerja secara cerdas, tuntas, dan ikhlas.