24
Jun
2020
Menilik pada akar sejarah dan budaya, cikal bakal berdirinya sebuah negara seringkali berawal dari sebuah areal hutan yang dibuka untuk bercocok tanam. Bermula dari situlah muncul dan berkembang pusat-pusat kehidupan dan perkekonomian masyarakat. Dalam wiracarita Mahabharata, Amarta sebagai negara tempat para Pandawa berkuasa pada awalnya adalah lahan perawan, alas Amr, yang dibuka untuk bercocok tanam.
Demikian pula halnya pada abad ke-13, ketika Raden Wijaya dianugerahi hutan Tarik oleh Prabu Jayakatwang untuk diolah menjadi sebuah tanah perdikan dengan basis pertanian. Selanjutnya hutan Tarik menjelma menjadi Majapahit, sang adidaya di Asia Tenggara, yang tidak hanya kuat di daratan tapi juga kokoh di lautan. Hal yang sama juga terjadi tiga abad kemudian, ketika hutan Mentaok di bagian selatan pulau Jawa dianugrahkan Sultan Pajang kepada Ki Ageng Pemanahan. Ki Ageng Pemanahan dan putranya, Danang Sutawijaya yang kelak menjadi Panembahan Senapati, mengolah hutan Mentaok menjadi Mataram yang sangat berpengaruh di tanah Jawa.
Negara-negara besar di masa lalu tersebut memiliki pola yang sama dalam awal perkembangannya, yaitu menjadikan pertanian sebagai basis awal berpijaknya. Berkaca pada sejarah dan budaya tersebut, Indonesia sebagai perulangan sejarah saat ini tidak boleh meninggalkan jati dirinya sebagai negara agraris. Perencanaan dan pembangunan negara harus tetap memperhatikan aspek budaya dan jati diri bangsa, khususnya dalam bidang pertanian.
Bidang pertanian harus diperkuat sebagai jati diri bangsa, sasaran akhirnya adalah membangun ketahanan pangan. Membangun ketahanan pangan harus dilakukan secara berjenjang, mulai dari tingkat desa, kabupaten, provinsi, sampai tingkat nasional. Cadangan pangan harus dikuasai oleh pemerintah, menurut kecukupan di tiap jenjangnya. Dalam upaya memperkuat cadangan pangan, pembentukan klaster pangan di daerah-daerah di luar Jawa dengan fokus pada komoditas pangan utama dan unggulan daerah dapat menjadi solusi. Pembentukan klaster pangan di daerah-daerah dapat menjadi langkah awal penyediaan bahan pangan dalam jumlah dan waktu yang tepat.
Program pembentukan klaster pangan sangat cocok diterapkan di Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Klaster pangan dapat dibentuk dengan tujuan untuk menyeragamkan tingkat ketahanan pangan, menurunkan biaya logistik dan distribusi, menstabilkan harga pangan di seluruh wilayah Indonesia, dan pemerataan pembangunan pertanian di daerah. Pembentukan klaster pangan menjadi sesuatu yang strategis, karena petani, bahkan kelompok tani, seringkali tidak sanggup menangkap peluang pasar yang membutuhkan jumlah produksi yang besar dan pasokan yang kontinyu.
Kebutuhan lahan untuk produksi pangan, jika memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia, adalah 10 juta hektar. Menurut data Badan Pertanahan Nasional, Indonesia mencakup teritorial seluas 800 juta hektar. Dari luasan ini 76%-nya atau sekitar 609 juta hektar merupakan perairan, dan sisanya 191 juta hektar atau sekitar 24% berupa daratan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berdasarkan kondisi biofisik lahan (fisiografi, bentuk wilayah, lereng, iklim), lahan yang sesuai untuk pertanian seluas 100,7 juta hektar. Dari seluruh lahan ini, 24,5 juta hektar di antaranya sesuai untuk lahan basah (sawah), 25,3 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman semusim dan 50,9 juta hektar sesuai untuk lahan kering tanaman tahunan. Jika dihubungkan dengan kebutuhan lahan sawah untuk ditanami padi seluas 10 juta hektar, maka areal seluas 24,5 juta hektar sudah memadai untuk berswasembada beras. Namun dari luas 24,5 juta hektar tersebut, berdasarkan survei Institut Pertanian Bogor dan Direktorat Pengelolaan Lahan pada tahun 2007, kadar C-organik tanah berkisar antara 0,56% - 3.52%. Kadar C-organik tanah subur adalah > 5 %. Adapun status C-organik tanah sawah dominan rendah dengan kisaran kurang dari 3 % mencakup areal sebesar 95 % dan hanya 1 % berkadar C-organik > 3,5 %.
Klaster pangan harus dikelola secara profesional dengan memerhatikan dasar-dasar manajemen agriculture dan agribussines yang terintegrasi. Agar penguasaan cadangan pangan berada di tangan negara dan dikelola secara profesional, klaster pangan perlu ditangani oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pola pengelolaan cadangan pangan seperti ini merupakan implementasi atas Undang-undang No. 18 Tahun 2008 Tentang Pangan, dimana dalam upaya penyelenggaraan cadangan pangan, pemerintah dapat menggandeng BUMN (PP No. 17 tahun 2015, Pasal 8 Ayat (1)).
Lima pihak yang harus diintegrasikan dalam Klaster Pangan adalah: (1) petani/kelompok tani/gabungan kelompok tani ; (2) industri sarana produksi pertanian dan perangkatnya (benih, pupuk, obat-obatan); (3) usaha pengelolaan pasca panen (RMU/penggilingan gabah, dsb); (4) pendamping/penyuluh pertanian (penyuluh budidaya dan pasca panen); dan (5) Lumbung Pangan /Bulog dan sejenisnya.
Fokus utama program klaster pangan ini adalah pemenuhan cadangan pangan secara berjenjang, dari tingkat kabupaten/kota sampai tingkat nasional. Setidaknya cadangan pangan yang harus dikuasai negara adalah 10% dari kebutuhan konsumsi masyarakat, atau bersifat proporsional sesuai tingkat produksi komoditas pangan utama. Cadangan pangan ini mutlak dikuasai negara sebagai buffer atau penyangga ketersediaan pangan dan stabilitas harga pangan.
BUMN sebagai operator klaster pangan harus memetakan sentra-sentra komoditas pangan utama di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Operator klaster pangan harus memiliki basis data akurat mengenai lahan dan petani yang ikut dalam program ini, serta memberikan pendampingan dan kawalan teknologi terhadap petani. Jejaring antara petani/kelompok tani dengan unit-unit pengolahan pasca panen di wilayah setempat harus dibangun agar memudahkan akses masuknya bahan pangan untuk diolah dan disimpan lebih lanjut sebagai cadangan pangan. Lumbung pangan sebagai pengelola cadangan pangan tidak mutlak sepenuhnya harus bersifat profit-oriented, sehingga dukungan pemerintah diperlukan dalam pelaksanaannya. Mobilisasi cadangan pangan dari lumbung pangan wilayah tertentu ke wilayah lainnya sangat dimungkinkan untuk pemerataan terpenuhinya cadangan pangan. Cadangan pangan hanya dapat dikomersilkan, dijual, atau bahkan diekspor, jika secara nasional kebutuhan dan buffer stok pangan sudah terpenuhi atau berlebih. Terdapat dua pola pengelolaan, yaitu pengelolaan klaster dan pengelolaan cadangan pangan. Pengelolaan klaster pangan dilakukan oleh BUMN yang ditunjuk, yang sifatnya komersial dan berorientasi profit. Adapun pengelolaan cadangan pangan dilakukan oleh lumbung pangan, dalam hal ini BULOG, yang didukung penuh oleh pemerintah. Program klaster pangan tersebut setidaknya memberikan dampak pada adanya jaminan kepastian lahan abadi dan petani/kelompok tani pengelolanya, karena BUMN sebagai operator klaster wajib memiliki basis data lahan dan petani, serta menjaga dan mengawal keberlanjutan operasional klaster. Berbagai insentif hendaknya juga diprioritaskan pada petani/kelompok tani yang ikut terlibat dan mendukung program penyediaan cadangan pangan melalui klaster pangan ini. Petani juga mendapat jaminan kepastian pembelian hasil produksinya, yang pada akhirnya berorientasi pada peningkatan kesejahteraan petani itu sendiri.
Kebijakan strategis pemerintah ke depan harus secara konsisten memerhatikan eksistensi klaster pangan abadi. Rencana pengembangan tata ruang wilayah di setiap daerah tidak boleh lagi bersifat parsial, tetapi harus secara komperehensif memprioritaskan keberadaan lahan untuk produksi pangan. Regulasi tentang keberadaan lahan pertanian abadi harus diperkuat oleh seluruh pemangku kebijakan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota melalui peraturan daerah. Upaya perlindungan lahan pertanian produktif dan potensial itu wajib dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah.
Untuk menahahan semakin intensifnya laju konversi lahan sawah, terutama sawah-sawah beririgasi teknis, telah disahkan Undang-undang No. 41/2009 oleh Pemerintah bersama DPR. Undang-undang tersebut mengatur tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), dimana didalamnya menjelaskan adanya larangan untuk mengalihfungsikan lahan yang termasuk kategori lahan pertanian pangan berkelanjutan menjadi lahan non pertanian. Undang-undang No. 41 Tahun 2009 ini memberikan jaminan penyediaan yang berkelanjutan atas adanya sumber daya lahan sebagai faktor utama penyediaan pangan.
Sosialisasi atas UU No. 41/2009 menjadi kata kunci dalam upaya penetapan lahan pertanian abadi. Dalam kurun waktu 7 tahun sejak disahkannya Undang-undang tersebut, provinsi ataupun kabupaten/kota yang telah menetapkan LP2B di dalam RTRWnya kurang dari 50%. Ini menunjukkan kurangnya respon daerah dalam menetapkan LP2B. Seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan pemanfaatan lahan, baik pemerintah daerah dan perangkatnya, perusahaan pengembang/properti, dan masyarakat pemilik lahan, perlu digugah kesadarannya tentang arti penting lahan sebagai faktor utama pendukung ketahanan pangan.
Pembentukan klaster pangan merupakan upaya mendesentralisasikan usaha tani dengan tujuan menghidupkan perekonomian di daerah. Hal tersebut juga sejalan dengan karakteristik produk-produk pertanian itu sendiri. Karakteristik produk pertanian sebagai komoditas pangan umumnya memiliki ukuran voluminous, mudah rusak, dan memiliki batas waktu dalam penggunaannya (masa kadaluarsa), sehingga perlu dikelola dan didistribusikan secara cepat. Peningkatan nilai tambah atas produk pertanian harus dirasakan secara merata di sentra-sentra produksi pertanian.
Nilai tambah terbesar dalam usaha pertanian adalah pada aspek pascapanen. Keuntungan ekonomis lebih besar diperoleh dalam kegiatan pengolahan komoditas pertanian sebagai bahan baku menjadi barang konsumsi dan usaha perdaganannya, dibanding kegiatan budidaya produksi pertanian (on farm). Untuk mendapatkan nilai tambah yang besar tersebut, teknologi pascapanen menjadi sangat penting dikusasai. Tiga hal utama dalam aspek pascapanen yang perlu diperkuat adalah teknologi penyimpanan, pengolahan, dan pola distribusinya. Ini berkaitan dengan dengan karakteristik produk pertanian itu sendiri.
Kegiatan dalam klaster pangan harus diarahkan pada upaya mendorong petani agar mendapat nilai tambah yang besar dari hasil pertaniannya. Petani harus lebih digugah kesadarannya melalui program edukasi, sosialisasi, dan penyuluhan-penyuluhan, agar mau mengolah lebih lanjut hasil pertaniannya. Dalam aspek teknologi penyimpanan, penurunan kadar air sampai prosentase kadar air layak simpan adalah cara paling sederhana yang dapat dilakukan petani. Kegiatan tersebut secara konvensional sudah umum dilakukan petani melalui kegiatan penjemuran dengan sinar matahari. Pola-pola pengelolaan pascapanen seperti ini sangat tergantung alam sehingga perlu upaya teknologi. Berbagai macam teknologi dalam upaya memperpanjang periode simpan dalam bentuk segar banyak ditawarkan. Konsep dasar teknologinya bermacam-macam diantaranya yang paling sederhana adalah penyimpanan dalam suhu rendah. Modifikasi konsentrasi gas dalam ruang simpan juga dapat dilakukan; bahkan perlakuan kimia, fisika, radiasi dan/atau biologi untuk menghambat proses metabolisme atau mencegah kontaminasi patogen dan serangan hama gudang.
Memperbaiki kualitas gizi dan meningkatkan kemananan produk pangan sebelum dikonsumsi juga dapat dilakukan melalui teknologi pascapanen. Teknologi seperti ini pada prinsipnya juga diarahkan untuk merubah karakteristik pangan yang awalnya kurang disukai menjadi jenis pangan yang malah digemari, sehingga jenis pangan produk olahan semakin beragam. Keragaman jenis produk pangan olahan ini selanjutnya akan berpengaruh pada tingkat konsumsi masyarakat.
Secara general, kegiatan pengelolaan pascapanen tidak melulu hanya dalam hal mengolah hasil pertanian menjadi bahan pangan, tetapi didalamnya juga termasuk kegiatan distribusi. Proses pengangkutan dari areal produksi ke pasar dimana konsumen dapat memperolehnya, perlu dilakukan seefektif dan seefisien mungkin. Prinsipnya konsumen harus mendapat produk pangan tersebut dalam jumlah, jenis, mutu, dan waktu sesuai kebutuhannya. Sentuhan teknologi, seperti teknologi kemasan, menjadi sesuatu yang sangat penting dalam upaya menjaga mutu dan mencegah kerusakan bahan pangan selama proses distribusi.
Selain untuk pangan, teknologi pascapanen khususnya pengolahan produk pertanian juga dapat dilakukan untuk menghasilkan bahan baku pakan. Pemanfaatan teknologi di bidang ini lebih dititikberatkan untuk menghasilkan jenis pakan yang efisien sehingga menjadi lebih murah. Pengguaan teknologi yang tepat guna juga diharapkan dapat mengurangi limbah pertanian yang terbuang, sehingga lebih ramah lingkungan.
Berbagai sistem teknologi penyimpanan tersebut tidak serta merta dapat diaplikasikan oleh petani secara individu. Ini terkait dengan skala ekonomis usaha pertanian yang dilakukan petani. Petani perlu meningkatkan skala usahanya melalui kelompok tani, gabungan kelompok tani, atau asosiasi petani. Sarana dan prasarana pengelolaan pasca panen perlu difasilitasi dan didukung penuh oleh pemerintah. Pemerintah juga bisa menjadi jembatan antara petani (kelompok tani/asosiasi petani) dengan industri pangan dalam sebuah kerjasama suplay yang saling menguntungkan. Petani (kelompok tani/asosiasi petani) harus diarahkan untuk mengembangkan unit pengolahan pangan skala kecil di lokasi produksi. Konsep-konsep agropolitan dengan pembentukan terminal agribisnis di tiap kecamatan atau wilayah-wilayah tertentu dapat diterapkan sebagai bagian dari struktur klaster pangan. Istilah Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti ‘pertanian’ dan Polis/Polit-an yang berarti ‘kota’. Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agroplitan & Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, Agropolitan didefinisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis sehingga mampu melayani, mendorong, menarik, serta menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya.
Prinsipnya, Pemerintah harus mengembangkan teknologi sederhana yang tepat guna, dalam rangka mendorong petani agar mendapat nilai tambah yang besar dari hasil pertaniannya.
(bersambung)
1. Seri Seven Habits Ketahanan Pangan Versi Petrokimia Gresik, Pendahuluan https://mihwan.id/blog/seri-se...
2. Ketahanan Pangan #1; Melek Teknologi https://mihwan.id/blog/habits-...
3. Ketahanan Pangan #2; Memuliakan Petani https://mihwan.id/blog/habit-2...
4. Ketahanan Pangan #3; Regenerasi Petani https://mihwan.id/blog/habit-3...
5. Ketahanan Pangan #4; Memperbaiki Pola Konsumsi https://mihwan.id/blog/habit-4...
6. Ketahanan Pangan #6; Menguatkan Lembaga Pangan https://mihwan.id/blog/habit-6...
7. Ketahanan Pangan #7; Membangun Stabilitas Regional https://mihwan.id/blog/ketahan...
Sumber : Buku Memupuk Kesuburan, Menebar Kemakmuran (Gramedia, 2017). Penulis adalah anggota tim penulisan buku tersebut.
Sumber foto cover : Karsten Würth