Tyler Casey

18

Jun

2020

KETAHANAN PANGAN #1; MELEK TEKNOLOGI

Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa teknologi berperan penting dalam upaya peningkatan daya saing hampir di semua bidang usaha. Pemilihan dan penggunaan teknologi secara tepat berpotensi meningkatkan efisiensi biaya produksi sehingga dapat menekan harga jual. Di bidang pertanian, pemanfaatan dan penguasaan teknologi secara langsung berkaitan dengan peningkatan produktivitas sebagai basis kinerja usaha pertanian. Selain itu, penguasaan teknologi pertanian juga berkorelasi langsung terhadap peningkatan nilai tambah produk-produk pertanian.

Melihat realitas pembangunan pertanian di Indonesia terdapat kesenjangan antara dunia riset, baik yang berasal dari lembaga pemerintah maupun perguruan tinggi, dengan dunia pertanian di lapangan, termasuk agroindustri. Perlu optimalisasi teknologi budidaya dan pascapanen dalam upaya peningkatan produktivitas dan nilai tambah produk pertanian (hardware).

Optimalisasi di bidang budidaya dan pascapanen perlu dibarengi dengan teknologi informasi untuk menyusun perencanaan produksi yang tepat serta pendistribusian hasil yang merata (software). Basis data petani, iklim, dan lahan pertanian harus menjadi landasan utama dalam perencanaan berbagai program pembangunan pertanian. Untuk itu, basis data tersebut perlu terus menerus diperbarui secara periodik.

Belum optimalnya pemanfaatan teknologi menyebabkan tidak ada lompatan peningkatan produktivitas pertanian yang signifikan. Produktivitas padi saat ini cenderung mengalami stagnasi di angka rata-rata 5,1 ton/ha gabah kering giling. Hal yang sama juga terjadi pada komoditas kedelai, yang sejak tahun 2000 produktivitasnya hanya berkisar di angka 1,2 - 1,5 ton/ha ose kering. Hanya komoditas jagung yang mengalami peningkatan produktivitas cukup signifikan, menjadi rata-rata 5 ton/ha pipilan kering dari semula 3,3 ton/ha pipilan kering. Peningkatan produktivitas jagung yang signifikan lebih disebabkan karena penggunaan benih hibrida dengan potensi hasil tinggi yang sudah tersosialisasi dengan baik.

Sedangkan performa tanaman, menurut Robert W. Allard, penulis text bookPrincipal of Plant Breeding” baik yang sifatnya berupa keragaan maupun produksi, tergantung pada sifat genetik dan lingkungan tempat tumbuhnya. Faktor genetik umumnya tercermin dari penggunaan varietas yang ditanam. Adapun faktor lingkungan seringkali direkayasa dengan penambahan-penambahan unsur hara dalam tanah melalui kegiatan pemupukan dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Faktor genetik dan faktor lingkungan ini lah dua hal utama yang harus dikelola secara optimal.

Tanaman Transgenik : sebuah keniscayaan #

Upaya pengembangan teknologi yang ditempuh untuk perbaikan sifat genetik tanaman adalah melalui program pemuliaan tanaman (plant breeding). Program yang dilakukan bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul berdaya hasil tinggi dan dapat diterima oleh petani. Kondisi sosial ekonomi Indonesia saat ini berdampak pada fokus kegiatan perakitan varietas yang lebih utama menitikberatkan pada faktor kuantitas, padahal di sisi lain perbaikan genetik yang mengarah pada perbaikan aspek kualitas, seperti kandungan nutrisi, daya simpan, dan lain-lain, juga diperlukan.

Varietas yang berkembang dalam masyarakat, khususnya padi, memiliki era-nya masing-masing. Pada periode tahun 1980 sampai dengan 1990an, dimana pemerintah gencar dengan program swasembada pangannya, varietas yang berkembang adalah varietas unggul hasil introduksi dari IRRI[1] yang responsif terhadap pemupukan urea, seperti IR36, IR42, dan IR64. Potensi hasilnya rata-rata mencapai 5 – 6 ton gabah kering giling (GKG) per hektar.

Pada awal periode tahun 2000an adalah era varietas Ciherang yang masih diminati sampai saat ini. Varietas ini dirakit oleh para peneliti di Balai Besar Penelitian Padi (BB Padi) Sukamandi, Subang Jawa Barat. Potensi hasilnya mencapai 8,5 ton per hektar dan memiliki daya adaptasi yang cukup luas. Selanjutnya, saat ini dikembangkan varietas-varietas unggul padi tipe baru (VUTB) yang lebih menitikberatkan pada efisiensi performa dengan ciri jumlah anakan yang relatif sedikit tetapi jumlah gabah per malainya banyak, sehingga potensi hasilnya tetap tinggi. Varietas unggul hibrida padi juga dikembangkan pada saat yang sama sebagai alternatif pilihan petani untuk meningkatkan hasil usahanya. Peningkatan produktivitas karena penggunaan benih hibrida dilaporkan cukup signifikan, sampai dua kali lipatnya. Produksi padi yang menggunakan varietas hibrida bisa mencapai diatas 10 ton per hektarnya. Yang perlu dipahamkan sebagai landasan berpikir atas keunggulan suatu varietas adalah pola adaptasinya terhadap lingkungan. Benih sebagai sumber atau kumpulan sifat-sifat genetik, dapat terlihat keunggulannya jika berinteraksi dengan lingkungan yang favorable.

Melihat stagnasi produktivitas pangan utama, lompatan signifikan untuk meningkatkan hasil pertanian perlu dilakukan. Kita dihadapkan pada tantangan melonjaknya jumlah penduduk pada tahun 2035 menjadi 305 juta, sehingga dibutuhkan pangan dalam jumlah yang banyak dan berkualitas untuk mencukupi kebutuhan penduduk. Lompatan teknologi dibidang pertanian yang cukup luar biasa adalah rekayasa genetika tanaman. Teknologi rekayasa genetika adalah suatu keniscayaan yang mau tidak mau harus diakomodir dan diadopsi, karena ke depan kebutuhan pangan akan semakin meningkat, sementara lahan justru semakin sempit dan perubahan iklim semakin nyata. Perkembangan ilmu pengetahuan di bidang rekayasa genetika tanaman diharapkan mampu memberikan solusi atas berbagai permasalahan pangan yang secara konvensional tidak mampu memberikan kontribusi yang maksimal.

Tanaman transgenik (GMO : Genetically Modified Organism) adalah tanaman yang telah disisipi gen dari spesies tanaman berbeda, atau bahkan gen dari makhluk hidup lain. Penyisipan gen pada tanaman dari spesies atau bahkan makhluk yang berbeda ini bertujuan untuk mendapatkan tanaman dengan sifat-sifat yang diinginkan, yang seringkali terkendala oleh ketersediaan sumber gen jika dilakukan secara konvensional. Di beberapa negara, teknologi benih melalui rekayasa genetika dilaporkan mampu meningkatkan produksi tanaman. Penelitiannya sudah dimulai sejak tahun 1977. Di Amerika Serikat, jagung dan kedelai transgenik sudah umum dibudidayakan, baik untuk konsumsi maupun sektor industri sejak tahun 1996.

Teknologi rekayasa genetik di bidang pertanian, seringkali dimanfaatkan untuk menghasilkan tanaman yang tahan terhadap cekaman, baik biotik maupun abiotik. Ketahanan terhadap cekaman biotik berupa ketahanan terhadap serangan hama dan penyakit tanaman, sedangkan cekaman abiotik mengarah pada peningkatan toleransi tanaman untuk hidup di lingkungan marginal. Selain itu, teknologi rekayasa genetik juga dimanfaatkan untuk peningkatan kandungan nutrisi tanaman, atau yang lebih dikenal dengan biofortifikasi, dan produksi bahan obat-obatan (farmasi).

Contoh-contoh produk hasil rekayasa gentika yang banyak dikenal luas diantaranya adalah padi tahan hama penggerek batang, kedelai toleran herbisida, dan pepaya tahan virus ringspot. Dalam fungsi biofortifikasi, Golden Rice adalah contoh produk hasil rekayasa genetik yang mengandung beta carotene tinggi. Pemanfaatan tanaman hasil rekayasa genetika yang dapat bertahan dalam cekaman biotik dan abiotik ini mampu merevolusi dunia pertanian dan pangan pada umumnya. Sampai dengan tahun 2014, tanaman hasil rekayasa genetik telah ditanam oleh kurang lebih 18 juta petani di 28 negara dengan luasan area sebesar 181,5 juta hektar, dan saat ini 56 % kedelai di dunia merupakan kedelai transgenik. (Sumber : http://pse.litbang.pertanian.g... ).

Di Indonesia, tanaman hasil rekayasa genetik telah dikembangkan sejak tahun 1990 dan saat ini telah banyak lembaga penelitian yang melakukan riset di bidang ini. Walaupun demikian tanaman transgenik belum digunakan secara massal dan komersial dalam kegiatan budidaya tanaman. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang membawahi standarisasi produk pangan telah merilis 21 produk pangan hasil rekayasa genetik yang telah memenuhi standar keamanan pangan. Dari 21 produk tersebut didominasi oleh jagung dan kedelai hasil didatangkan dari luar negeri, dan sebagian kecil lainnya adalah tebu transgenik hasil riset dan pengembangan dari PTPN XI.

Pemanfaatan tanaman atau bahan pangan dari hasil rekayasa genetika masih belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat. Hal itu tergambar dari banyaknya pro dan kontra serta isu kontroversial yang mengiringi perkembangan produk-produk hasil rekayasa genetik. Isunya sangat beragam, mulai dari isu keamanan dan kesehatan pangan, isu keanekaragaman hayati, isu komersial, bahkan isu agama. Masih ada kekhawatiran masyarakat bahwa produk rekayasa genetik dapat menimbulkan risiko terhadap lingkungan serta mengganggu kesehatan manusia dan hewan.

Dalam penetapan izin beredarnya produk-produk hasil rekayasa genetika, pemerintah sudah melalukannya dengan prinsip kehati-hatian yang tinggi. Ini dilakukan untuk meminimalisir kemungkinan munculnya dampak merugikan, baik bagi lingkungan mapun kesehatan manusia. Regulasi yang dikeluarkan pemerintah untuk mengatur peredaran produk hasil rekayasa genetika dirasa sudah cukup, baik yang berupa Undang-undang maupun keputusan menteri sebagai penjabaran operasionalnya. Untuk memperkuat regulasi tersebut juga dibentuk lembaga-lembaga yang mengawal, mengelola, dan mengawasi produk-produk rekayasa genetik dari hulu ke hiliirnya yaitu Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (KKH PRG), Balai Kliring Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (BKKH PRG), dan Tim Teknis Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetik (TTKH PRG).

Semua lembaga-lembaga tersebut memiliki suatu tujuan yang jelas, yaitu menjamin pemanfaatan produk rekayasa genetik yang aman dan halal. Pada prinsipnya berbagai upaya untuk menjamin ketersediaan pangan yang bekelanjutan harus dilakukan, dan harus berlandaskan nilai moral dan etika.

Dengan potensi yang dimilikinya, flora-fauna-iklim-luas lahan, Indonesia sudah saatnya menjadi pusat riset genetik dunia di bidang pertanian. Penggunaan varietas unggul yang merupakan hasil rekayasa genetik sebaiknya tidak mengarah pada dominasi salah satu jenis varietas saja. Setiap wilayah dengan kondisi agroklimat yang berbeda perlu didukung oleh penyediaan benih unggul yang berbeda pula.

Precision Farming #

Dalam berbagai mitologi, bumi (Phrtivi ; sansekerta atau Gaea ; Yunani) sering digambarkan sebagai ibu yang melahirkan berbagai macam makhluk. Dalam berbagai kitab suci disampaikan bahwa Tuhan menciptakan bumi sebagai hamparan, yang dari dalamnya ditumbuhkan berbagai macam tanaman sebagai rizki bagi manusia. Tanah sebagai elemen utama bumi merupakan unsur penting setelah air bagi berlangsungnya kehidupan. Di dunia pertanian, tanah atau lahan merupakan faktor produksi utama dan unik karena tidak dapat digantikan. Jika ditarik lebih jauh pada konsep pertanian yang bersifat land-based agriculture, ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak untuk menjamin ketersediaan pangan (Sudirja, 2008). Hal strategis dalam aspek pengelolaan lahan yang perlu dikawal konsistensinya dalam penetapan kebijakan terkait pangan adalah perbaikan kualitas lahan untuk peningkatan produktivitas tanaman. Ini menjadi konsekuensi logis dalam upaya menjaga eksistensi bumi agar tetap menumbuhkan berbagai macam tanaman sebagai rizki bagi manusia.

Teknologi pertanian di masa depan mengarah pada model Precision Farming yang didefinisikan sebagai konsep manajemen pertanian berdasarkan hasil penelitian, pengamatan, dan pengukuran respon tanaman atas keragaman lingkungan. Precision Farming pada prinsipnya merupakan pertanian berbasis IPTEK yang mendasarkan pengelolaannya pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah terbukti hasilnya secara ilmiah dan meyakinkan secara empiris, dengan tetap mengutamakan peningkatan produktivitas, efisiensi input, mutu produk, dan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan.

Konsep teknologi budidaya pertanian spesifik lokasi dan spesifik komoditi juga mengarah pada model Precision Farming. Setiap lokasi memiliki tingkat kesuburan dan penyediaan hara yang berbeda-beda. Begitu pula, setiap jenis komoditi memiliki kebutuhan hara yang berbeda-beda pula. Input produksi berupa benih, pupuk, dan obat-obatan pertanian tetap diperlukan dalam komposisi yang seimbang sesuai kebutuhan.

Metode precision farming mengarah pada pemberian input produksi yang berimbang dengan memperhatikan aspek keberlanjutan, sehingga ke depan penggunaan bahan organik, penyedia hara hayati (biofertilizer) dalam rangka pengayaan mikroba tanah harus lebih tersosialisasi dalam aplikasi teknologi budidaya pertanian.

Selain itu persoalan hama tetap menjadi persoalan kekinian, sekalipun berbagai upaya telah dilakukan. Hama pada prinsipnya menyerang tanaman padi karena keseimbangan ekosistem yang rusak. Pada prinsipnya alam semesta mempunyai sistem dan keseimbangan, meningkatnya populasi hama pada suatu wilayah karena kerusakan pada sistem ekosistem nya. Peningkatan salah satu jenis hama, tidak lepas dari rusaknya rantai makanan dalam ekosistem.

Prinsip hubungan antara predator dan musuh alami dalam rantai makanan (ekosistem), saat ini telah mengalami kerusakan. Alam sebenarnya telah menyediakan musuh alami hama yang dapat memangsa dan memarasit hama, namun akibat penggunaan Pestisida yang terus mennerus dan dengan dosis yang tidak sesuai, musuh alami hama sudah punah dalam ekosistem. Teknologi pemanfaatan kembali musuh alami untuk mengendalikan hama, disebut pengendalian hayati. Pengendalian hayati pada dasarnya memanfaatkan organisme untuk menekan kepadatan populasi organisme lainnya, tujuan dari pengendalian hayati ini adalah pencapaian keseimbangan ekosistem.

Salah satu cara mencapai keseimbangan ekosistem ini, dengan rekayasa ekologi. Rekayasa ekologi adalah dengan membangun ekosistem baru yang mendukung pertumbuhan musuh alami yaitu menambahkan tempat tinggal atau sumber makanan musuh alami.

Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang Kementerian Pertanian, menunjukkan bahwa secara keseluruhan rekayasa ekologi mampu menekan serangan hama dan meningkatkan populasi musuh alami di lapangan. Namun untuk lebih optimal harus dipadukan antara penggunaan light trap, penanaman bunga dan palawija.

Pengendalian hama dan penyakit tanaman dalam rangka peningkatkan produktivitas dapat menggunakan bahan kimia atau pestisida jika seluruh upaya pencegahan sudah dilakukan. Penggunaan pestisida merupakan komponen pengendalian yang dilakukan, jika; (a) populasi hama telah menekan populasi musuh alami, (b) komponen-komponen pengendalian lainnya tidak dapat berfungsi secara baik, dan (c) keadaan populasi hama telah berada di atas Ambang Ekonomi (AE), yaitu batas populasi hama telah menimbulkan kerusakan yang lebih besar daripada biaya pengendaliannya.

Penggunaan pestisida kimia dapat dianjurkan bila mengikuti prinsip 6 (enam) tepat, yakni : (1) tepat sasaran, (2) tepat mutu, (3) tepat jenis pestisida, (4) tepat waktu, (5) tepat dosis atau konsentrasi, dan (6) tepat cara penggunaan. Elaborasi Bio-pestisida akan menjadi trend pengendalian hama penyakit tanaman kedepan, mengingat semakin tingginya perhatian dunia terhadap lingkungan. Biopestisida, atau pestisida hayati secara definisi adalah pestisida yang didalamnya mengandung satu atau beberapa jenis mikroorganisme, baik berupa bakteri patogen, virus, maupun jamur. Biopestisida yang saat ini banyak digunakan adalah jenis insektisida hayati (mikroorganisme pengendali serangga) dan jenis fungisida biologi (mikroorganisme pengendali jamur).

Kedepan, pengembangan Bio-pestisida harus mendapat perhatian dan dukungan baik dari perusahaan-perusahaan pestisida maupun Pemerintah, berupa kebijakan-kebijakan untuk memberi dukungan kepada lembaga-lembaga penelitian dalam pengembangan pestisida jenis ini. Dengan mengggunakan konsep Triple Helix (Pemerintah, Lembaga Penelitian, dan pengusaha) pengembangan bio-pestisida untuk pertanian di Indonesia bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan.

Mekanisasi Pertanian #

Mekanisasi pertanian menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan dalam abad teknologi sekarang ini. Alasannya adalah berkurangnya jumlah rumah tangga petani dan sedikitnya jumlah petani usia produktif. Alsintan (alat mesin pertanian) diperlukan dalam tiap tahapan budidaya dan menekan risiko food losses, mulai dari alat pengolah tanah (traktor), alat penanam (transplanter), mesin penebar pupuk (spreader/injector), dan alat pemanen (harvester).

Penggunaan teknologi diharapkan dapat menekan persentase kehilangan hasil saat panen. Sekalipun demikian, penggunaan alsintan harus menyesuaikan budaya masyarakat setempat, kondisi geografis lahan pertanian, dan kualitas sumber daya manusia, sehingga tingkat efektivitas dan efisiensi tercapai.

(Bersambung)

BACA JUGA :

1. Seri Seven Habits Ketahanan Pangan Versi Petrokimia Gresik, Pendahuluan https://mihwan.id/blog/seri-se...

2. Ketahanan Pangan #2; Memuliakan Petani https://mihwan.id/blog/habit-2...

3. Ketahanan Pangan #3; Regenerasi Petani https://mihwan.id/blog/habit-3...

4. Ketahanan Pangan #4; Memperbaiki Pola Konsumsi https://mihwan.id/blog/habit-4...

5. Ketahanan Pangan #5; Sinergi Agroindustri https://mihwan.id/blog/habit-5...

6. Ketahanan Pangan #6; Menguatkan Lembaga Pangan https://mihwan.id/blog/habit-6...

7. Ketahanan Pangan #7; Membangun Stabilitas Regional https://mihwan.id/blog/ketahan...

Sumber : Buku Memupuk Kesuburan, Menebar Kemakmuran (Gramedia, 2017). Penulis adalah anggota tim penulisan buku tersebut.Sumber foto cover : Tyler Casey

Tentang Penulis

Foto 2

Muhammad Ihwan

Muhammad Ihwan. Kelahiran Yogyakarta, tinggal di Gresik dan Jakarta. Suka membaca dan menulis, menyenangi marketing dan public relations. Pernah menjadi juru bicara perusahaan, menangani pengelolaan program TJSL, CSR, dan comdev, serta mengelola penjualan retail untuk seluruh Indonesia. Saat ini mengelola penjualan sektor korporasi untuk domestik dan mancanegara.

Top 10 Negara Pengunjung:
Total Pengunjung: